Palu Siaga Bencana Susulan
Hampir dua bulan setelah gempa, tsunami, dan likuefaksi, wilayah Palu dan sekitarnya berpotensi bencana susulan seperti longsor dan banjir bandang, seiring musim hujan.
PALU, KOMPAS Bencana susulan, seperti tanah longsor dan banjir bandang, seusai hujan lebat berpotensi mengancam kawasan yang porak poranda akibat gempa, tsunami, dan likuefaksi pada 28 September 2018 di Palu, Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.
Penanganan dan penataan kawasan terdampak bencana perlu dipercepat untuk mengantisipasi bencana susulan dalam bentuk lain.
Pantauan pada Kamis (15/11/2018), di desa-desa di sepanjang Jalan Palu-Bangga (Jalan Pue Bongo II), Sigi, ancaman tanah longsor diakui warga Desa Bobo, Dolo Barat, dan Wisolo, Dolo Selatan. Mereka masih bertahan di pengungsian atau tenda-tenda di halaman rumah.
”Kemarin, bukit di belakang itu longsor. Kami khawatir kalau hujan lebat datang bisa banjir sampai ke sini,” kata Mikhael, warga Desa Wisolo, ditemui di ladang. Ia menunjuk deretan perbukitan tua di sisi barat Jalan Pue Dongo II.
Dataran lembahnya menjadi sawah, ladang, dan permukiman penduduk.
Di Desa Mantikole, Dolo Barat, ancaman tanah longsor juga diwaspadai.
Sejak gempa meninggalkan patahan selebar 2-3 meter di jalan desa, kecemasan warga meningkat. Mereka yang takut tinggal di rumah mengungsi ke tenda pengungsian meski setiap 1-2 hari kembali untuk memeriksa keamanan rumah.
”Dusun ini tidak terlalu jauh dari Air Terjun Ompo dan tebing. Sejak bencana, kami jadi khawatir kalau hujan tebing jadi longsor atau banjir,” kata Destin, warga Desa Mantikole.
Hal senada dikatakan warga Kelurahan Balaroa dan Kelurahan Duyu di Palu. Balaroaadalah salah satu kawasan yang porak poranda akibat likuefaksi. Warga mengungsi ke Kelurahan Duyu yang berada di dekatnya.
Di kawasan Balaroa nyaris tidak ada pengerjaan proyek penataan kawasan atau pembersihan material. Inilah yang membuat warga khawatir jika hujan deras.
”Kalau material tanah ini terbawa air hujan, lari ke mana dan apa sudah diantisipasi,” kata Muhidin, warga Balaroa.
Arkeolog sekaligus Wakil Kepala Museum Sulawesi Tengah Iksam dalam diskusi kebencanaan di Forum Sudutpandang, Rabu (14/11) malam, menyatakan tidak sepakat dengan penunjukkan Duyu untuk relokasi. Duyu memang ada di atas Balaroa.
Namun, kawasan itu dinamai Duyu yang berarti longsor atau tanah turun. ”Leluhur di Sulawesi Tengah selalu menamai sebuah kawasan berdasarkan gejala alam. Orang yang tahu tentang arti Duyu, saya yakin tidak akan mau tinggal di sana,” katanya.
Untuk Talise dan Pombewe, lanjut Iksam, sudah tepat. Talise ada di dataran tinggi Palu. Kondisi serupa ada di Pombewe. Namun, kajian ilmiah tentang kekuatan kawasan terhadap bencana alam perlu dilakukan teliti dan sahih.
Antisipasi pencurian
Di Jawa Barat, Polda Jawa Barat mewaspadai tindakan kriminal yang marak seusai bencana alam. Selain membantu penanggulangan dampak bencana, penjagaan harta benda para penyintas bakal jadi prioritas utama aparat di lapangan.
Hal itu ditekankan Kepala Polda Jabar Irjen Agung Budi Maryoto seusai memimpin Apel Siaga Penanggulangan Bencana Alam di Wilayah Jabar Tahun 2018 di Kota Bandung.
”Langkah itu kami lakukan untuk memberi rasa aman bagi penyintas. Misalnya, saat di pengungsian, kami berharap mereka merasa nyaman dan tidak khawatir memikirkan harta benda yang ditinggalkan di rumah,” katanya.
Terkait status siaga darurat bencana alam di Jabar yang ditetapkan sejak November 2018 hingga tujuh bulan ke depan, Sekretaris Daerah Jabar Iwa Karniwa menyiapkan dana Rp 50 miliar. Uang itu untuk membantu pengadaan logistik dan perbaikan infrastruktur rusak.
Di Jakarta, BMKG memprediksi curah hujan lebat masih akan mengguyur wilayah Sumatera dan Kalimantan hingga satu minggu ke depan. ”Untuk Sumatera, yang perlu diwaspadai di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Jambi,” kata prakirawan Cuaca BMKG, Lutfi Fitriano.
Kemarin, tiga desa di Kecamatan Sei Bamban dan satu desa di Kecamatan Dolok Masihul, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara, diterjang banjir. Banjir tanpa hujan itu akibat tanggul Sungai Belutu di Desa Mala Sori, Kecamatan Dolok Masihul, jebol. Sebanyak 448 rumah dan 298 hektar sawah terendam air setinggi 20-50 sentimeter. (BRO/SEM/RTG/ZAL/NSA/E13)