BANDUNG, KOMPAS – Upaya memperkenalkan angklung sebagai warisan budaya dunia dilakukan dengan merayakan Angklung Day di Gedung Sate, Minggu (18/11/2018). Dalam perayaan kesembilan ini, 5.500 peserta dari 170 kelompok angklung memecahkan rekor memainkan Angklung terbanyak dunia versi Record Holders Republic (RHR).
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyatakan Angklung adalah warisan dari tataran sunda untuk dunia. Alat musik ini perlu dipopulerkan agar lebih dikenal masyarakat. Dengan pemecahan rekor ini, tuturnya, Angklung diharapkan bisa menumbuhkan kebanggaan dalam masyarakat dan lebih dikenal dunia.
Hari Angklung ini dirayakan untuk memperingati penetapan angklung sebagai alat musik tradisional yang menjadi warisan dunia tak benda versi Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization/UNESCO) pada November 2010. Oleh karena itu, tutur Kamil, masyarakat perlu mengambil bagian dalam pelestarian budaya yang diakui internasional ini.
Untuk menjaga kelestarian angklung, Kamil menganjurkan angklung masuk ke dalam kurikulum pendidikan di sekolah Jawa Barat. Selain itu, sebagai ikon budaya, angklung juga diharapkan bisa hadir di setiap daerah untuk menunjang daya tarik pariwisata.
Kamil berujar, pengakuan dunia terhadap angklung juga harus dimanfaatkan sebagai alat diplomasi kesenian. “Angklung adalah kebanggaan rakyat Jawa Barat dan Indonesia. Saya mengusulkan kepada Kementerian Luar Negeri untuk menyediakan angklung di kedutaan kita di luar negeri. Angklung bisa menjadi alat diplomasi kesenian yang paling mudah, karena alat musik ini tidak sulit dimainkan,” ujar Kamil di sela perayaan tersebut.
Perayaan ini diselenggarakan oleh Keluarga Besar Bumi Siliwangi (Kabumi) Universitas Pendidikan Indonesia. Komunitas ini menghadirkan 170 grup angklung yang tersebar di Bandung dan berbagai daerah lainnya. Pembina Kabumi Aan Handoyo menyatakan, setiap grup telah diajarkan sepuluh lagu yang dimainkan untuk memecahkan rekor tersebut.
Sebanyak lima lagu dari berbagai daerah seperti Alusi Au (Batak), Peyeum Bandung (Sunda), dan Yamko Rambe Yamko (Papua) serta lima lagu dari luar negeri seperti Soso Loza (Afrika), Kojo No Tsuki (Jepang) dan Heal The World dikumandangkan seluruh peserta yang memadati pelataran Gedung Sate.
Senada dengan Kamil, Aan berharap angklung bisa masuk ke dalam kurikulum pendidikan karena alat musik ini mengajarkan disiplin dan kebersamaan. “Angklung ini alat musik bersama, tidak bisa dimainkan sendiri. Memainkan alat musik ini berarti menggambarkan bagaimana setiap orang perlu bekerja sama untuk mendapatkan bunyi yang harmonis,” tuturnya.