Pembukaan Keran Investasi Asing Ancam Industri Karet Lokal
Oleh
Nikson Sinaga
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Rencana pemerintah mengeluarkan industri karet remah dari daftar negatif investasi dinilai akan semakin memperparah keterpurukan industri karet nasional. Pemerintah berencana membuka keran investasi asing di tengah tutupnya sejumlah pabrik karet di dalam negeri akibat kekurangan bahan baku.
”Kami melihat pemerintah tidak memahami kondisi krisis yang sedang dialami industri karet. Pabrik karet remah banyak yang tutup akibat kekurangan bahan baku setelah banyak petani menebang tanaman karetnya. Namun, pemerintah justru membuka keran investasi untuk asing,” tutur Sekretaris Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Utara Edy Irwansyah, di Medan, Senin (19/11/2018).
Edy menjelaskan, secara nasional saat ini ada 157 pabrik karet remah dengan kapasitas terpasang 5,5 juta ton per tahun. Namun, produksi tahun 2017 hanya sekitar 3,6 juta ton dan diperkirakan menurun pada tahun ini.
Di Sumut, dua dari 30 pabrik karet remah berhenti beroperasi dalam dua tahun ini. Adapun pabrik yang bertahan hanya bisa beroperasi 1-3 hari dalam sepakan. Banyak karyawan diberhentikan atau dirumahkan.
Pabrik karet remah di Sumut terpuruk karena bahan baku yang tersedia hanya mampu untuk memproduksi 400.000 ton karet remah per tahun. Padahal, total kapasitas produksi terpasang 820.000 ton per tahun. ”Terjadi kapasitas menganggur lebih dari 50 persen,” ujar Edy.
Ia menjelaskan, kedaulatan industri karet remah nasional juga semakin terancam dengan makin besarnya modal asing yang masuk. Saat ini, 63 persen produksi karet remah dikuasai perusahaan penanaman modal asing. Perusahaan penanaman modal dalam negeri hanya menguasai 37 persen produksi.
Perbaiki hilir
Menurut Edy, jika ingin berkontribusi dalam pengembangan industri karet, pemerintah seharusnya berfokus memperbaiki iklim investasi di sektor hilir, khususnya industri ban, sandaran kapal, peredam guncangan bangunan, rumput sintetis, karpet karet, aspal karet, dan sarung tangan. Industri itu akan meningkatkan penyerapan karet remah di dalam negeri sehingga harga bisa membaik.
”Pemerintah malah membuka keran investasi semakin ke hulu, yakni karet remah. Ini akan mengurangi nilai tambah yang kita peroleh. Perusahaan yang masuk di industri karet remah kemungkinan besar adalah perusahaan konsumen karet remah asal Indonesia selama ini,” katanya.
Menurut Edy, persoalan utama industri karet adalah produksi dari petani yang berkurang dari tahun ke tahun akibat harga yang anjlok hingga Rp 5.000 per kilogram. Padahal, harga karet pernah mencapai Rp 20.000 per kilogram. Harga karet juga jauh di bawah harga pokok produksi Rp 12.500 per kilogram. Perekonomian desa-desa sentra karet pun kini terpuruk.
Mislan Purba, Kepala Desa Bah Damar, Kecamatan Dolok Merawan, Kabupaten Serdang Bedagai, mengatakan, hampir setiap hari ada saja petani di desanya yang menebang tanamannya karena karet tidak bisa lagi menghidupi mereka. Luas kebun karet di Desa Bah Damar yang sebelumnya lebih dari 150 hektar kini tidak sampai 100 hektar. ”Sebagian besar petani beralih menanam ubi,” ucapnya.
Mislan menyebutkan, beberapa kali pemerintah menawarkan program peremajaan tanaman karet. Namun, tidak ada seorang pun petani karet yang mau tanamannya diremajakan karena harga karet yang anjlok. Menurut dia, petani karet akan bergairah kembali jika harga karet naik lagi paling tidak Rp 12.500 per kilogram.