”Hypnowriting” Hoaks Ditanggulangi dengan Tidak Membagi
Oleh
DODY WISNU PRIBADI
·2 menit baca
JOMBANG, KOMPAS — Cenderung memilih untuk tidak membagi materi-materi yang kemungkinan berisi berita bohong merupakan tindakan paling masuk akal bagi masyarakat pengguna media sosial.
Dengan melakukan itu, dampak negatif berita bohong akan seketika terhenti, setidaknya di tangan satu penerima. Materi hoaks biasanya mengandung materi ancaman atau kecemasan; atau suatu kegawatan besar bagi penerimanya, yang dikatakan akan menerima akibat tertentu jika tidak menyebarkannya.
Teknik manipulasi pikiran membangkitkan kepanikan ini metode yang selalu dipakai untuk penyebaran berita bohong. ”Teknik yang disebut hypnowriting itu membangkitkan mentalitas crocbrain (pikiran primitif) yang membuat orang kemudian tidak menyelesaikan bacaannya dan lalu membagi (share) informasi yang mengandung materi hoaks tersebut,” kata Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat Dewan Pers Imam Wahyudi di depan santri Pondok Pesantren Salafiah, di Seblak, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Senin (20/11/2018) malam.
Hadir juga Pengasuh PP Salafiah Al-Mahfudz, Halim Mahfudz, Kapolsek Diwek Ajun Komisaris Budi Setiyono dan Komandan Koramil Diwek Suparman.
Imam mencontohkan, situasi mencekam tayangan media tentang gempa Lombok dan Poso menggeser pemahaman dari ancaman gempa menjadi ”sesar”. Setelah muncul ancaman gempa di sekitar sesar, sementara sesar itu sendiri ada di seluruh wilayah Indonesia, segera muncul kecemasan atas risiko yang sama bagi pengguna media sosial yang tempat tinggalnya dilintasi sesar.
Imam menunjukkan, sebagaimana pengamatannya di Dewan Pers, bagaimana informasi bohong telah membuat orang tertentu diuntungkan. Pada kasus ketegangan akibat munculnya kubu calon presiden nomor urut satu dan dua, Dewan Pers menerima aduan berdasar materi hoaks. Hasil penelusuran Dewan Pers, ada seorang mahasiswa yang mengelola beberapa media daring (online), seorang diri.
”Hasil pemeriksaan kami, mahasiswa asal Sumatera Barat tersebut memiliki media daring yang seluruh materinya menyerang calon nomor satu. Si mahasiswa ini dengan bangganya saat pemeriksaan menunjukkan bahwa, dengan memiliki media abal-abal pilpres, ia bisa mendapat Rp 18 juta dari hasil mengumpulkan jumlah klik,” papar Imam.
Halim Mahfudz menyampaikan, kewaspadaan ini harus dibangkitkan, terutama di kalangan para santri yang sedang menikmati ledakan informasi di era media sosial saat ini. Santri harus diberi bekal cukup tentang konten berbahaya berisi informasi hoaks.
Kapolsek Diwek Budi Setiyono mengungkapkan, dinamika proses penyidikan dan penyelidikan oleh Polri juga kerap dijadikan obyek hypnowriting. Ada penulis-penulis hoaks yang justru memahami hukum, tetapi membuat informasi keliru tentang proses pidana.
”Misalnya, orang yang dipukul kemudian jadi tersangka, lalu disebarluaskan. Seolah sudah terjadi kesalahan prosedur hukum. Padahal, kenyataannya, dalam proses, itu adalah perkelahian yang berasa dari problem perdata sengketa pemilikan lahan,” tutur Budi.