Desak Pemutihan Kredit
PALU, KOMPAS - Sejumlah warga berinisiatif menggalang dukungan untuk mendesak pemutihan kredit bagi para korban gempa, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah.
Utang-utang kredit perbankan dan perusahaan pembiayaan menjadi masalah besar bagi ribuan warga korban gempa, likuefaksi, dan tsunami di Sulawesi Tengah.
Karena itu, sejumlah warga menginisiasi gerakan guna pemutihan utangutang itu dengan menghimpun dukungan formulir dari warga dan mendesak tindakan pemerintah.
Gerakan itu diawali oleh Forum Perjuangan Pemutihan Hutang (FPPH) Sulteng dan Forum Debitur Korban Bencana Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Dongala (Pasigala) Provinsi Sulawesi Tengah.
Sejak Selasa (20/11/2018) pagi, Taman Gelanggang Olah Raga Palu ramai didatangi warga. Mereka antre mengambil formulir, mengisi, dan membubuhkan meterai serta tanda tangan. Formulir itu berisi pertanyaan terkait kredit apa yang ditanggung dan besaran kreditnya.
Kemarin adalah hari terakhir pengumpulan formulir yang telah dilakukan sejak sepekan lalu. Ketua Forum Debitur Korban Bencana Pasigala Ando Wibisono mengklaim 3.400 formulir terkumpul. Ini bisa memperkuat desakan agar utang-utang perbankan dan leasing para korban bencana dihapus.
Koordinator FPPH Sunardi mengatakan, kebijakan penundaan kredit berbeda-beda antarbank dan leasing. Ada yang hanya 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun, atau 2 tahun. ”Akan tetapi, itu hanya penundaan. Sesudahnya, kan, membayar, padahal sebagian masyarakat tak bisa bekerja,” kata Sunardi.
Rustam (31), warga Palu, menyatakan kebingungannya menutup kredit usaha di salah satu bank. Selain bekerja di perusahaan swasta, Rustam juga pemasok ikan. Pascagempa, usahanya itu berantakan sehingga kondisi keuangannya terdampak.
”Saya harus bayar cicilan Rp 2,2 juta per bulan selama setahun. Sekarang, sudah jalan lima bulan. Setelah gempa, tidak bisa jualan karena konsumen saya, pemilik warung makan, belum buka usaha. Rumah saya tidak ambruk, tetapi rusak. Ini juga perlu biaya,” ujar Rustam.
Amirullah, pegawai di lingkup Pemprov Sulteng, juga mengumpulkan formulir. Dia kebingungan bagaimana nanti membayar cicilan rumahnya sebesar Rp 2,5 juta per bulan. Rumahnya di Perumahan Petobo terdampak likuefaksi, padahal ia baru 11 kali mengangsur.
”Saya dan istri punya usaha untuk menopang kebutuhan, yakni buka outlet makanan nutrisi. Namun, outlet itu hancur saat gempa. Istri saya juga utang ke bank untuk usaha ini yang cicilannya Rp 2 juta per bulan,” kata Amirullah.
Rumahnya itu, menurut Amirullah, belum ditempati karena masih perlu direnovasi. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika masih harus mengangsur kredit rumah yang terminnya masih 14 tahun lagi itu, sementara rumah itu sudah musnah.
Sunardi berencana ke DPRD Sulteng dan Pemprov Sulteng, Rabu (21/11), untuk menyampaikan desakan tersebut. ”Daerah lain yang pernah terkena gempa, seperti Yogyakarta, Lombok, dan Aceh, ada bank-bank bisa memutihkan kredit.
Sulteng mestinya bisa begitu. Tetapi, harus tepat sasaran untuk masyarakat yang terdampak,” katanya.
Kepala Biro Humas Pemprov Sulteng Haris Kariming mempersilakan masyarakat menyuarakan keinginannya. ”Saya belum tahu persis bagaimana tuntutan forum-forum tersebut, tetapi silakan saja jika ingin bertemu dan membahas,” katanya.
Kepala Otoritas Jasa Keuangan Sulteng M Syukri A Yunus mengatakan, pemutihan kredit wewenang perbankan dan pihak leasing. ”Bukan wewenang kami,” ucapnya. (PRA)