JAYAPURA, KOMPAS - Pelaksanaan otonomi khusus di Papua sudah mencapai tahun ke-17 pada Rabu (21/11/2018) ini. Namun, dampaknya terhadap peningkatan Indeks Pembangunan Manusia di Papua masih minim. Karena itu, diperlukan evaluasi total terhadap sistem perencanaan dan pengawasan regulasi tersebut agar dapat meningkatkan kualitas hidup warga.
Hal itu dikemukakan sejumlah perwakilan tokoh masyarakat, legislatif, dan Pemerintah Provinsi Papua saat diwawancarai di Jayapura, Selasa (20/11).
Samuel Tabuni, tokoh pemuda di Papua, mengatakan, pelaksanaan otonomi khusus (otsus) di Papua sejak tahun 2001 belum berdampak pada sejumlah sektor yang paling penting bagi masyarakat, yakni pendidikan, kesehatan, dan ekonomi mikro.
Sejak tahun 2001 hingga saat ini, Pemprov Papua mendapat alokasi dana otsus dari pemerintah pusat total Rp 68,9 triliun. Namun, hingga tahun 2017, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Papua menempati peringkat ke-34 atau terendah se-Indonesia dengan poin 59,09.
Angka ini berada di bawah rata-rata nasional, yakni 70,81. Dimensi pembentuk IPM adalah umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup layak.
Sejumlah masalah kesehatan masih terjadi di Papua. Salah satunya kejadian luar biasa campak disertai gizi buruk di Asmat yang menewaskan 72 anak balita pada awal tahun 2018.
Pada sektor pendidikan, program wajib belajar 12 tahun juga belum berjalan optimal. Lama sekolah rata-rata baru mencapai tujuh tahun. Angka putus sekolah paling banyak berada di 15 kabupaten di Pegunungan Tengah Papua, seperti Lanny Jaya, Tolikara, Yalimo, Jayawijaya, Puncak, dan Puncak Jaya.
Kondisi itu menyebabkan tingkat buta aksara di Papua masih tinggi.
Berdasarkan data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua, angka buta huruf di Papua mencapai 24 persen atau sekitar 600.000 warga belum dapat membaca dan menulis.
Perlu sinergi
”Tidak ada perencanaan program yang sejalan dengan alokasi anggaran tersebut. Orang asli Papua masih mengalami masalah di tiga sektor tersebut,” kata Samuel yang juga anggota Staf Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Desk Papua.
Ia menilai, perlu sinergitas antara pusat dan daerah agar implementasi otsus berdampak positif bagi masyarakat. ”Karena itu, harus ada evaluasi total terhadap perencanaan program dan sistem pengawasannya,” katanya.
Anggota DPRD Papua, John Gobay, berpendapat, penyebab pengelolaan otsus belum berjalan baik karena faktor mental dan kompetensi sumber daya manusia.
”Banyak unsur pimpinan dinas di kabupaten yang menggunakan dana otsus dengan motif untuk mendapatkan proyek. Tidak ada komitmen memprioritaskan sejumlah sektor yang lebih mendesak seperti ekonomi, pendidikan, dan kesehatan,” ujarnya.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Papua Laduani Ladamay mengatakan, tahun depan pihaknya menyiapkan program inkubator ekonomi di daerah yang berpotensi menjadi sentra komoditas unggulan. (FLO)