Hilangnya Makna Denda Adat
Sidang adat digelar untuk menyelesaikan kasus penganiayaan terhadap Orang Rimba di Sarolangun, Jambi. Pelaku dikenai denda adat Rp 15 juta. Menurut sebagian pihak, hal itu sebagai tanda berakhirnya satu masalah. Namun, tidak demikian bagi Orang Rimba.
Pembayaran itu bagaikan memupus makna denda adat. Masalah dianggap selesai dengan ditandatanganinya surat perjanjian oleh kedua pihak. Perjanjian itu berisi pernyataan tidak akan ada tuntutan hukum di kemudian hari.
Sidang adat yang berlangsung awal Oktober 2018 sempat alot. Bahkan, diwarnai oleh keluarnya puluhan Orang Rimba dari ruang sidang. Mereka kecewa karena penyelesaian hanya dihargai sebatas uang.
Penganiayaan itu bermula saat Beconteng (22), Orang Rimba dari kelompok Tumenggung Meladang, wilayah Air Itam, Sarolangun, tengah melewati kebun sawit anak perusahaan PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) Tbk bersama tiga temannya. Di salah satu lokasi, Beconteng menepi untuk buang air kecil.
Saat kembali ke motornya, tiba-tiba datang petugas keamanan perusahaan itu. Petugas menuduh dia mengambil buah sawit perusahaan. Beconteng mengaku tidak tahu, tetapi petugas terus mendesak, bahkan menghantam perutnya dengan sepatu lars. Petugas juga memukulkan kecepek, senapan tradisional Orang Rimba, berulang kali ke wajah dan kepalanya. Beconteng pun pingsan.
Penganiayaan oleh petugas yang sama telah terjadi dua kali. Tahun sebelumnya, petugas terkait juga menganiaya seorang warga komunitas itu.
Padahal, perusahaan kebun sawit tempat petugas itu bekerja, PT Bahana Karya Semesta, anak usaha PT SMART Tbk, telah menerapkan komitmen usaha sawit berkelanjutan, di antaranya menyatakan menghormati masyarakat adat yang tinggal di dalam dan sekitar kebun. ”Main hakim sendiri merupakan kesalahan.
Sanksinya berupa pindah ke kebun yang jauh sampai pemecatan,” kata Kepala Bagian Tanggung Jawab Sosial PT SMART Tbk Zukri Saad.
Rincian denda adat senilai Rp 15 juta adalah Rp 6 juta untuk keluarga istri Beconteng, dalam hal ini diberikan kepada Bepak Nekan (mertua), dan Rp 9 juta diberikan kepada keluarga korban. Dalam adat Orang Rimba, penerima denda adat bisa keluarga pihak perempuan ataupun pihak laki-laki.
Antropolog dari Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Robert Aritonang, mengatakan, dendat adat semula hanya diberlakukan untuk sesama Orang Rimba atau paling jauh untuk menyelesaikan persoalan Orang Rimba dengan masyarakat luar.
Namun, saat itu belum ada perusahaan masuk ke tempat hidup mereka di ekosistem Bukit Duabelas yang menyebar di wilayah tengah Jambi.
Denda adat biasanya dikenakan atas pelanggaran seputar perusakan hutan dan pelanggaran norma adat. ”Sidang adat dilakukan untuk menyelesaikan pelanggaran yang timbul akibat perilaku individu atau kelompok terkait dengan nilai adat dan masalah sosial saja,” katanya.
Denda adat biasanya mampu menghapus persoalan kedua belah pihak dan saling saling memaafkan. Misalnya, ketika terjadi penganiayaan, keluarga besar pelaku akan datang untuk memohon maaf.
Pada masa lalu, denda 500 lembar kain merupakan beban berat yang sangat sulit dipenuhi. Karena itu, jika denda itu dikenakan, keluarga mereka bahu-membahu untuk membayar kain sebanyak itu.
Keluarga besar berperan ikut mengontrol pelaku untuk tidak mengulangi perbuatannya di kemudian hari. Sidang pun berakhir dengan terciptanya perdamaian.
Jadi marjinal
Masalah muncul seiring maraknya usaha perkebunan dan tanaman industri yang dibangun di wilayah hidup Orang Rimba. Dari total 3.600 warga Orang Rimba yang menempati wilayah ekosistem Bukit Duabelas, sepertiganya kini hidup di kebun sawit dan karet korporasi.
Warsi mencatat, lebih dari 440 keluarga tinggal di tempat yang sama, tetapi kini wilayah hidup mereka berubah menjadi kebun sawit korporasi. Situasi terus berubah kala pembukaan lahan besar-besaran terjadi.
Kemarjinalan dan kemiskinan absolut seketika menyelimuti Orang Rimba sehingga menjadi persoalan yang sangat serius. ”Mereka tak memiliki lagi kepastian sumber daya penghidupan yang memadai,” kata Robert.
Dalam kondisi marjinal, mereka kerap dianggap pengganggu sehingga dengan mudah petugas bertindak sewenang-wenang serta menganiaya.
Kasus Beconteng bukan yang pertama. Pada Juni 2016, kasus serupa terjadi di kebun yang sama. Penganiayaan dan penghancuran harta benda Orang Rimba dari kelompok Tumenggung Mariyau oleh petugas keamanan perkebunan tersebut juga diakhiri dengan penyelesaian adat.
”Di situ sidang adat menjadi kehilangan maknanya,” kata Robert. Tak ada lagi penghormatan terhadap adat, semua dianggap selesai dengan uang.
Menurut Bepak Nekan, sidang yang berakhir dengan denda adat bernilai jutaan rupiah belum menyentuh substansi masalah terkait ketiadaan sumber daya penghidupan Orang Rimba.
Mereka sebenarnya menaruh harapan besar seusai kunjungan Presiden Joko Widodo pada 2015. Saat itu mereka menyatakan kebutuhan akan lahan.
Presiden menjanjikan 3.000 hektar bagi sejumlah kelompok Orang Rimba. Namun, hingga kini belum jelas implementasinya.
Belakangan kian sering didapati Orang Rimba mengemis di jalanan di sepanjang jalan lintas Sumatera. Sulit dibayangkan makin mirisnya kehidupan mereka ke depan tanpa ada dukungan pemerintah.
Negara dituntut mengambil peran menyelesaikan persoalan ini agar ada kepastian nasib Orang Rimba di masa depan.