Pelemparan Poslantas Wisata Bahari Lamongan Diduga Terkait Terorisme
Oleh
ADI SUCIPTO KISSWARA
·3 menit baca
LAMONGAN, KOMPAS - Selama kurun Oktober hingga Novenber 2018, pos polisi lalu lintas di Wisata Bahari Lamongan atau WBL tiga kali dilempari batu oleh orang tidak dikenal. Dua pelaku telah ditangkap dan diserahkan ke Polda Jatim, Rabu, (21/11/2018). Polisi menduga kedua pelaku terkait jaringan terorisme.
Pelemparan terakhir terjadi pada Selasa (20/11/2018) dini hari. Pelaku bahkan menyerang petugas piket Brigadir Kepala Andreas Dwi Anggoro dengan katepel. Kelereng yang dijadikan peluru katepel mengenai mata kanan Andreas. Korban pum harus menjalani operasi dan perawatan di Rumah Sakit Bhayangkara, Surabaya.
Petugas satuan pengamanan WBL, Suliono, menyebutkan pelemparan pertama terjadi Oktober lalu, saat dirinya sedang piket. Pelaku melemparkan batu paving block tepat mengenai kaca hingga pecah. "Kejadian kedua, pelaku melemparkan batu lebih kecil tetapi juga memecahkan kaca pos," tuturnya.
Pada kejadian ketiga petugas yang tengah piket adalah dua satpam Arif Wahyudi dan Mustari. Kali ini, kaca yang terkena lemparan pecah berdiameter lebih kurang 20 sentimeter. Bagian yang pecah ditutup kertas dan diplakban.
Seusai pelemparan, keduanya lalu mengejar pelaku. Arif Wahyudi berboncengan dengan Yuliadi, rekannya. Sedang Mustari berboncengan dengan Adi Irianto menggunakan sepeda motor Honda CBR.
Dibawa ke Polda Jatim
Pelaku akhirnya ditangkap dan dibawa ke Polda Jatim, Rabu, sekitar pukul 10.20. Mereka adalah Eko Ristanto (35) dan MSA (16).
Kepala Kepolisian Resor Lamongan, Ajun Komisaris Besar Feby Hutagalung menjelaskan sesuai pendalaman pemeriksaan dan koordinasi dengan Polda Jatim dan Detasemen Khusus 88 Antiteror, yang bersangkutan diduga terlibat dalam suatu kelompok jaringan teroris. "Hari ini, kasus ini, kami limpahkan ke Densus 88 untuk penanganan lebih lanjut. Pelaku dibawa ke Polda Jatim lebih dulu, setelah itu akan didalami oleh Densus 88 Mabes Polri," kata Feby.
Salah seorang pelaku yakni Eko Ristanto, adalah mantan anggota kepolisian dengan pangkat terakhir Brigadir Satu. Ia terakhir berdinas pada Maret 2012 di Polres Sidoarjo. Yang bersangkutan diberhentikan setelah divonis 11 tahun oleh Pengadilan Negeri Sidoarjo terkait kasus penembakan guru mengaji dan penjual tempe Riyadhus Sholihin.
Penembakan itu diawali ketika Sholihin menyerempet mobil Briptu Widiarto di dekat Gelanggang Olahraga (GOR) Gelora Delta Sidoarjo. Saat itu, Briptu Eko Rianto bersama Briptu Widiarto baru pulang dari Kafe Ponti.
Keduanya pun mengejar mobil yang dikendarai Sholihin dan memberi tembakan peringatan. Sholihin yang panik malah tancap gas. Eko lalu menembak bagian depan mobil. Namun tembakan itu mengenai Sholihin hingga tewas di depan rumah makan Taman Pinang Indah, persis di seberang GOR, di Kecamatan Candi.
Setelah bebas, Eko tidak tinggal di Sidoarjo. Ia pindah ke Geneng, Kecamatan Brondong, Lamongan, bersama istrinya Umu Difa dan dua anaknya. Ia bekerja serabutan menjadi kuli panggul ikan, di Tempat Pelelangan Ikan Brondong, Lamongan.
Sebulan mengenal
Sementara itu menurut penuturan ayah-ibu MSA, Fahrikhin dan Muinah, warga Sedayulawas, Kecamatan Brondong, anaknya baru sebulan mengenal Eko. Setelah itu ia memilih keluar sekolah.
Sebelum mengenal Eko, kata FRK, MSA berperilaku biasa saja. Setiap hari MSA mengantar adik perempuannya ke sekolah di Geneng, Kelurahan Brondon, lalu terus ke sekolah di SMP Muhamnadiyah 15. "Ia kenal dan bertemu Eko saat rutin mengantar adiknya," kata Fahrikhin.
Setelah kenal Eko, ada perubahan perilaku yang berbeda dari MSA. Ia tak mau sekolah dan tak lagi mau berkumpul dengan teman dan tetangga. MSA melarang ayah, ibu dan adiknya menonton televisi dengan alasan bisa berpengaruh buruk. "Ia bahkan berani menyalahkan teman dan gurunya karena dianggap melenceng," papar Farikhin.
Bukan hanya putus sekolah, MSA juga jarang pulang dan lebih memilih berada di kontrakan Eko. MSA mengaku Eko bekerja di TPI Brondong. Ia juga tidak lagi mengantar jemput adiknya.
Farikhin pun terkejut ketika anaknya berurusan dengan polisi. Polisi pun menggeledah rumahnya dan membawa sejumlah buku dari kamar MSA. "Saya hanya berharap, anak saya dihukum ringan," katanya