Akses Telekomunikasi yang Sangat Dibutuhkan Daerah Tertinggal
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·5 menit baca
BIMA, KOMPAS – Pemerintah menargetkan dapat membangun 5.000 menara base transceiver station atau BTS hingga 2020. Pembangunan menara BTS diharapkan dapat memeratakan akses telekomunikasi masyarakat. Terutama masyarakat Indonesia yang berada di daerah terluar, tertinggal, dan terdepan. Namun, pembangunan itu hendaknya tidak sekenanya, melainkan mesti menyesuaikan dengan kebutuhan warga setempat.
Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) menambah satu menara BTS untuk melayani kebutuhan telekomunikasi warga di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. Salah satu menara BTS terbaru yang dibangun berlokasi di Desa Campa, Kecamatan Mada Pangga, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.
Warga di desa itu akhirnya dapat menikmati layanan telekomunikasi untuk mengakses internet atau menelepon setelah bertahun-tahun terisolasi dari peradaban telekomunikasi. Kondisi itu dicapai setelah menara BTS selesai dibangun di desa tersebut pada 2017.
Dampaknya kemudian, warga Desa Campa memang dapat menikmati layanan telekomunikasi. Namun, mereka masih kesulitan untuk mendapatkan kualitas mengakses internet dan menelepon yang optimal.
Warga Desa Campa, Sukardi (45), Kamis (22/11/2018), menuturkan, kehadiran menara BTS belum sepenuhnya “memerdekakan” warga dari keterisolasian komunikasi. Dengan penduduk sekitar 4.000 orang, hampir semua warga Desa Campa telah memiliki ponsel. Sedangkan kapasitas menara BTS yang telah dibangun hanya mampu melayani sekitar 100 pengguna dalam waktu yang bersamaan.
“Untuk telepon kadang-kadang masih sulit. Sinyal internet juga sangat lambat,” ujar Sukardi.
Direktur Utama Bakti, Anang Latif, mengakui kapasitas menara BTS yang dibangun masih standar. Ke depan, ia berencana untuk mengevaluasi kembali kapasitas menara BTS. Menurut rencana, kapasitas menara BTS akan ditingkatkan dari hanya bisa melayani 100 pengguna dalam waktu bersamaan menjadi 400 pengguna.
Teknologi 2G
Anang menambahkan, hingga Oktober 2018 jumlah menara BTS yang sudah beroperasi (on air) sebanyak 758 menara. Menara BTS yang dibangun pemerintah itu tersebar di 21 provinsi dan 121 kabupaten. Berdasarkan catatan Bakti, sekitar 100 menara BTS sudah dapat melayani teknologi 4G. Sedangkan mayoritas sisanya masih menggunakan teknologi 2G.
Pada Maret 2019 Bakti akan meningkatkan layanan menara BTS yang masih menggunakan teknologi 2G menjadi 4G.
Jumlah menara BTS itu, menurut Anang, masih akan terus bertambah. Bakti menargetkan sebanyak 800 menara BTS selesai dibangun hingga akhir 2018.
“Sudah ada sekitar 2.300 lokasi desa yang telah kami konfirmasikan akan dibangun BTS pada 2019. Setelahnya kami akan berupaya mewujudukan pembangunan 5.000 menara BTS,” kata Anang di Desa Campa.
Penyediaan lahan menjadi kendala yang sering ditemui Bakti saat akan membangun menara BTS. Untuk itu, kerja sama dengan pemerintah daerah dan masyarakat merupakan syarat utama agar target itu bisa dicapai. Kendala lainnya yang ditemui adalah ketersediaan listrik dan akses transportasi untuk mencapai lokasi desa.
Menurut Anang, membangun menara BTS di kawasan terpencil kurang menguntungkan secara bisnis. Alasan itulah yang menyebabkan jarang ada operator telekomunikasi yang tertarik berinvestasi membangun menara BTS. Nilai investasi pembangunan menara BTS bisa mencapai hingga Rp 1 miliar.
Mekanisme baru
Tahun depan, Bakti akan menerapkan mekanisme baru dalam hal perjanjian kontrak kerja dengan operator telekomunikasi. Ke depan, kontrak antara Bakti dan operator telekomunikasi dalam pengoperasian menara BTS akan menggunakan skema jangka panjang, yaitu 5 hingga 7 tahun. Sebelumnya, perjanjian kerja berlangsung singkat. Hanya sekitar 1 tahun kontrak.
Mekanisme baru ini, kata Anang menimbulkan kepastian, sehingga akan menarik minat investor. Biaya operasional (cost) menara BTS juga bisa ditekan hingga 30-40 persen. Setip tahunnya Bakti membutuhkan sekitar Rp 300 juta-Rp 600 juta untuk operasional satu menara BTS.
Desa Campa berada di antara perbukitan. Kondisi itu menyebabkan akses telekomunikasi bagi warga menjadi sulit karena belum ada operator telekomunikasi yang tertarik membangun menara BTS di sana.
Warga Desa Campa, Husein Ahmad (43), menuturkan, ia beserta seluruh warga sudah bertahun-tahun hidup tanpa sinyal telekomunikasi. Permintaan untuk membangun menara telekomunikasi beberapa kali disampaikan kepada pemerintah setempat dan juga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun, harapan mereka tidak kunjung terealisasi.
“Kalau mau menelepon sanak saudara, saya harus pergi ke desa sebelah yang berjarak sekitar 4 kilometer,” ujarnya di Desa Campa.
Ketika mendengar kabar Bakti akan membangun menara BTS di Desa Campa, Husein tanpa pikir panjang menghibahkan sebagian lahannya untuk didirikan menara. Ia merelakan tanahnya dibangun menara karena masyarakat di sana sudah sangat membutuhkan akses telekomunikasi.
Desa Campa berpenduduk kurang lebih sekitar 4.000 orang. Banyak di antara mereka yang merantau ke luar pulau untuk bekerja atau bersekolah. Oleh karena itu, kebutuhan untuk tetap berkomunikasi dengan handai tolan sangat penting bagi mereka.
Tenaga perawat di puskesmas pembantu Desa Campa, Arif Hidayat (33), menyampaikan, kebutuhan akan sinyal telekomunikasi sangat mendesak untuk dipenuhi. Sebagai tenaga kesehatan, Arif harus berkomunikasi dengan rekan-rekannya di Kota Bima untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang memadai. Akan tetapi, karena kondisi sinyal telepon yang sulit, beberapa kali komunikasi antara mereka terputus.
Saat tidak ada sinyal, biasanya Arif akan menggantung ponsel miliknya di loteng puskesmas. Cara itu sedikit banyak cukup membantu komunikasi Arif. Walaupun sinyal telepon yang ia dapatkan sering timbul tenggelam.
Meski belum sempurna, pembangunan menara BTS di Desa Campa setidaknya dapat mengobati dahaga warga akan kebutuhan berkomunikasi. Warga Desa Campa, sebagaimana warga Indonesia lainnya juga berhak menikmati layanan komunikasi yang berkualitas. Pembangunan 5.000 menara BTS berperan vital agar tidak ada lagi satu bagian masyarakat Indonesia yang tertinggal dari kencangnya derap pembangunan.