Mengetuk Pintu Kedua di Antasena
Ratusan remaja menjadi penghuni panti sosial dengan berbagai latar belakang negatif. Melalui program khusus dan pendampingan, mereka diberi keterampilan hidup dan mengenali karakter yang baik.
Mereka boleh jadi pernah mengambil pilihan salah, tetapi bukan berarti tak berhak mendapat kesempatan kedua. Perhatian, cinta, dan keterampilan positif diharapkan menumbuhkan kepercayaan diri remaja-remaja ini hingga berani menatap hidup lebih baik.
Wajah Ta (15) setengah tertunduk, tersipu saat menyalami para pengasuh dan pekerja sosial di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Antasena, Magelang, Kamis (18/10/2018). Sembari mencium tangan mereka, remaja laki-laki itu berpamitan setelah setahun dibina akibat kasus percabulan.
”Wah, sudah tidak ada lagi yang jago bermain bola. Tidak ada lagi yang memecahkan pipa,” ucap Kepala Subbagian Tata Usaha PSMP Antasena, Faisal, seraya menepuk bahu Ta yang sudah dijemput kakek-neneknya.
Sejumlah pesan dari para pengasuh dan pekerja sosial kepada Ta disampaikan dengan senyum dalam perbincangan ringan, penuh harapan, dan tak menghakimi. ”Jadi anak yang membanggakan ya, lebih percaya diri dan berani ya, tetap semangat, ya.”
Lasiman (63), sang kakek yang sehari-hari bekerja sebagai tukang batu di Kaligawe, Semarang, mengatakan, sejak kecil Ta ia asuh karena orangtuanya berpisah. ”Orangtuanya tidak pernah pulang. Setelah keluar dari panti, nanti biar dia di rumah dulu sebelum diajak buliknya ke Jakarta,” tutur Lasiman.
Setahun di panti, Ta senang dapat pembinaan serta bisa menyalurkan bakat bermain sepak bola, drumband, dan rebana. ”Saya ingin jadi pemain bola. Idola saya Ronaldo,” ujar Ta.
Ta adalah satu dari 145 anak penerima manfaat, sebutan anak-anak yang dibina di PSMP Antasena pada 2018. Panti yang dibangun 1982 ini dulu bernama Sarana Rehabilitasi Anak Nakal Among Putro. Lokasinya berjarak 10 kilometer dari Candi Borobudur di tepi akses jalan utama Magelang-Purworejo.
Selanjutnya, Juli 2001, tempat ini berubah nama menjadi PSMP Antasena dan mulai 2014 fokus membina anak bermasalah dengan hukum. Periode 1982-2014, setidaknya sudah 3.000 anak dibina di sini. Selanjutnya, pada 2014 hingga 2018, setiap tahun, rata-rata ada 150 anak dibina.
Mereka berusia 12-18 tahun dan masuk panti, antara lain, karena keluyuran, berjudi, mabuk, tindakan asusila, berkelahi, dan putusan pengadilan anak.
”Akar masalah biasanya dari keluarga kurang harmonis atau cerai. Karena kurang perhatian, mereka cari perhatian dengan kenakalannya,” tutur Kepala Seksi Program dan Advokasi Sosial Arif Nurhidayat.
Terkait percabulan, merujuk penelitian Kekerasan Seksual Anak Terhadap Anak: Studi di Lima Kota (Jakarta Timur, Magelang, Makassar, Mataram, dan Yogyakarta) oleh Istiana Hermawati, dkk (2018), faktor determinan anak melakukan kekerasan seksual terhadap anak adalah paparan pornografi dan teman sebaya. Mereka terpapar pornografi pertama pada usia 9-15 tahun melalui telepon seluler atau internet di warung internet.
Pendampingan
Di PSMP Antasena, anak-anak ini diberi banyak pendampingan, mulai pembinaan psikososial, fisik, keterampilan, seni, agama, hingga motivasi. Harapannya, perilaku jadi lebih baik serta kembali ke keluarga dan masyarakat.
Pembekalan keterampilan, seperti perbengkelan, pengelasan, serta elektronik diberikan sebagai bekal dan sarana ekspresi diri. Lama pembinaan bervariasi, 1-24 bulan sesuai dengan hasil analisis dan rekomendasi.
Siang itu, misalnya, Li (18), remaja laki-laki asal Samarinda, Kalimantan Timur, bersama sejumlah kawannya membongkar mesin motor di bengkel kerja panti didampingi dua fasilitator teknisi. Li menjalani pembinaan karena kasus percabulan. Ia jalani pembinaan dua tahun, yang sudah dijalani 1,5 tahun.
”Saya ingin jadi pengusaha dan membanggakan orangtua,” kata Li yang bertekad berubah. Di salah satu sudut bengkel las, An (17), remaja laki-laki asal Purbalingga, Jawa Tengah, fokus menyambung batangan besi untuk dijadikan kursi pendek.
”Dulu saya anak punk. Hidup di jalanan. Sukanya nongkrong di Ajibarang (Banyumas) dan paling jauh di Cirebon. Saya masuk panti karena ikut mencuri burung murai bersama paman. Sekarang kapok,” kisah An. Ia harus menjalani pembinaan enam bulan.
Selama tinggal di panti, penghuni diberi jadwal ketat sejak bangun pukul 04.00 hingga istirahat malam pukul 22.00. Kedisiplinan dan tanggung jawab menjaga kebersihan diri serta lingkungan jadi salah satu unsur yang ditanamkan.
Selain itu, motivasi, pelajaran agama, dan membangun hubungan sosial dengan sesama juga diperhatikan.
Siraman rohani diberikan dalam nuansa kekeluargaan. Di salah satu ruang kelas, 21 remaja laki-laki duduk di kursi membentuk huruf ”U”. Berkemeja, celana panjang, dan bersepatu rapi, mereka menyimak penjelasan tentang larangan mabuk oleh Ahmad Barisun, salah seorang pekerja sosial. Seusai ceramah, mereka berdialog.
Pembinaan di PSMP Antasena gratis. Setelah dibina, para pekerja sosial dan pengasuh masih melakukan bimbingan lanjut setahun dengan berkunjung ke rumah para penerima manfaat.
Tanpa sanksi kekerasan
Tak hanya diberi keterampilan, pihak panti juga membantu mencarikan tempat kerja bagi bekas binaannya. Di antaranya menjalin kerja sama dengan sejumlah bengkel di Magelang.
Bagi yang sudah selesai menjalani pembinaan, mereka dapat bekerja di sana. Di panti juga tersedia bengkel dan tempat mencuci mobil untuk umum. Beberapa lulusan panti ada yang bekerja di tempat itu.
”Saya pernah tinggal di panti ini tahun 2006. Awalnya terpaksa, tapi lama-lama saya sadar, di sini saya diajari hidup lebih teratur dan bertanggung jawab dengan hidup,” kata Su (28), karyawan bengkel mobil, mantan binaan di tempat itu. Dulu, Su sering keluyuran dan balapan liar sehingga oleh orangtuanya dimasukkan ke panti.
Salah satu metode pembinaan di panti adalah membuat kesepakatan berdasarkan aturan yang mereka buat berikut hukumannya. Misalnya, dalam salah satu peraturan disepakati jika ada yang berkata kasar kepada teman, konsekuensinya harus meminta maaf di depan teman-temannya, menulis kalimat tobat 100 kali, dan push up 15-50 kali.
”Tak ada hukuman dengan kekerasan. Hukuman bersifat membangun dan berdasar kesepakatan bersama,” tutur Arif.
Di panti sosial Antasena, penghuninya dilatih disiplin, bertanggung jawab, terampil, dan berguna bagi sesama. Itulah karakter tokoh wayang Antasena yang digambarkan urakan, grusa-grusu, apa adanya, tetapi berani, penuh welas asih, dan gemar menolong sesamanya. Antasena juga sosok yang sembada atau bertanggung jawab. (Megandika Wicaksono)