Orang Rimba di Titik Kritis
Pemerintah sepertinya tidak sepenuh hati memberdayakan Orang Rimba. Meski menyiapkan rumah, tidak dilengkapi lahan untuk hidup. Program pun sia-sia.
JAMBI, KOMPAS Berbagai program bantuan dalam 10 tahun terakhir belum mampu menyelamatkan Orang Rimba dari kesengsaraan. Tanpa upaya lebih serius, Orang Rimba tak hanya kehilangan akar budaya, tetapi juga berada pada titik kritis kepunahan.
Sebanyak 5.518 unit rumah dibangun Kementerian Sosial selama tahun 2009-2018. Program bernama Pembangunan Rumah Sederhana Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT) melalui Dana Tugas Pembantuan Kementerian Sosial.
Pembangunan tersebar di lima wilayah jelajah Orang Rimba yang mengelilingi Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), yakni Kabupaten Batanghari, Merangin, Sarolangun, Bungo, dan Tebo.
Dari jumlah itu, sekitar 200 unit rumah tak lagi dihuni Orang Rimba. Sebagian besar kini ditempati warga desa sekitar dan sisanya terbengkalai. Ratusan unit lainnya ditempati sewaktuwaktu saja karena penghuninya lebih banyak menghabiskan waktu menjelajah dalam kawasan hutan untuk berburu dan mengumpulkan bahan makanan.
Sebanyak 43 unit rumah yang dibangun pemerintah pada tahun 2015 di Kungkay, Kabupaten Merangin, bahkan tak sempat dihuni Orang Rimba.
Kondisi rumah baru itu kini tak terawat. Bahkan, bagian atap, daun pintu, jendela, dan fasilitas pendukung lainnya telah habis dicuri warga sekitar.
Antropolog Orang Rimba, Robert Aritonang, menilai, berbagai program selalu mengabaikan kebutuhan dasar, yakni pangan. Banyaknya bantuan rumah tanpa dilengkapi lahan kelolaan dan pendampingan budidaya serta usaha membuat Orang Rimba sulit bertahan.
Dari seluruh bantuan rumah untuk Orang Rimba, tak satu pun dilengkapi lahan pangan. ”Padahal tidak mungkin Orang Rimba bertahan hidup tanpa makan. Mereka juga butuh lahan pangan,” kata Robert di Jambi, Kamis (22/11/2018).
Pembukaan hutan yang masif dalam 30 tahun terakhir membuat Orang Rimba kehilangan rumah sekaligus sumber hidupnya. Menjelang 1980, pemerintah membuka program transmigrasi dan pembukaan kebun sawit dan tanaman industri besar-besaran.
Pembangunan itu mengawali migrasi besar-besaran warga asal Jawa. Lebih dari 40.000 keluarga transmigran didatangkan untuk menempati kawasan yang telah dibuka. ”Demi kesuksesan program pembangunan, keberadaan Orang Rimba di hutan-hutan itu justru terabaikan,” jelasnya.
Saat ini, dari 5.235 warga komunitas Orang Rimba, hanya sebagian kecil hidup nyaman di kawasan TNBD. Sebagian lainnya hidup dalam kondisi darurat di sepanjang Jalan Lintas Sumatera dan perkebunan sawit dan akasia.
Kehidupan yang dialami kelompok ini bisa dikatakan yang paling terlunta. ”Bahkan, jika dibandingkan dengan kriteria warga miskin sebagaimana diatur Bappenas, mereka jauh di bawahnya lagi,” tambahnya.
Tanpa penanganan serius, lanjut dia, Orang Rimba tak hanya akan terpisahkan dari akar budayanya, tetapi juga berada pada titik kritis kepunahan. Apalagi, usia harapan hidup Orang Rimba saat ini lebih rendah dibandingkan penduduk Indonesia umumnya. ”Rata-rata kematian di bawah usia 50 tahun,” ujar Robert
Banyak pula ditemui kematian pada usia anak disebabkan kekurangan asupan makan. Kerawanan pangan yang terjadi pada akhir 2014, misalnya, sempat memicu kematian beruntun belasan anak di bagian timur Bukit Duabelas.
Pada tahun yang sama juga didapati kejadian luar biasa kematian bayi akibat penyakit demam berdarah di Sarolangun.
Hal serupa ditegaskan peneliti Orang Rimba dari Universitas Diponegoro, Adi Prasetijo. Ia menilai program yang diberikan bagi Orang Rimba selalu berorientasi pada pembangunan permukiman, minus sumber penghidupan.
Program pun kerap tidak sesuai pada penghormatan hak mereka sebagai suatu masyarakat yang punya identitas sendiri dan perlu dilindungi.
”Akhirnya, Orang Rimba seperti mengalami displacement karena lingkungan dan alamnya telah jauh berubah saat cara berpikirnya masih tetap,” katanya.
Pemuka Orang Rimba, Ngilo, berharap pemerintah tak sekadar memberi bantuan fisik, tetapi juga membantu mereka beradaptasi pada cara hidup baru. ”Kami mau bercocok tanam, tetapi bagaimana kalau tidak ada lahannya,” jelasnya.
Kepala Seksi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Dinas Sosial Provinsi Jambi Merialdi mengatakan, tahun ini Kemensos membangunkan 112 unit rumah untuk Orang Rimba di Kabupaten Tebo. Bantuan sekitar Rp 4 miliar itu tak dilengkapi dengan lahan pengelolaan. (ITA)