YOGYAKARTA, KOMPAS- Perempuan memiliki peran menjaga dan merawat Negara Kesatuan Republik Indonesia sekaligus terlibat dalam pembangunan mensejaterahkan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Cinta NKRI dan Pancasila tidak sekedar disuarakan tetapi lebih penting dipraktekkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perempuan sebagai mitra laki-laki, perlu berkompetisi dan bersaing dengan laki-laki.
Demikian butir penting dalam seminar internasional, “Peran Perempuan dalam Politik Kebangsaan”, dalam rangka memperingatan Milad 1 Abad Madrasah Mu’allimin-Mu’allimaat Muhammadiyah, di Kampus Universitas Aisyiyah Yogyakarta, Minggu (25//11). Tampil sebagai pembicara utama, Prof Dr Rahma Binti Haji Ahmad Osman, dari International Islamic University of Malaysia; Prof Dr Masjitoh Chusnan sebagai Ketua Pimpinan Pusat Aisyiyah Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Prof Dr Siti Zuhro.
Seminar dibuka oleh Hj Siti Noordjannah Djohantini selaku Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah. Pembicara lain pada pembukaan, yakni Wakil Rektor II Bidang Keuangan, Umum, dan Sumber Daya Manusia Universitas Aisyiyah Yogyakarta Yuli Isnaeni, dan Ketua Badan Pembina Harian Mu’allimin-Mu’allimaat Muhammadiyah, H Habib Chirzin. Seminar dipandu moderator dari Universitas Aisyiyah Istianah.
Siti Zuhro mengatakan, negara kesatuan bukan penyeragaman dalam kebijakan tetapi negara kesatuan yang menghormati eksistensi keberagaman. Karena itu diperlukan keindonesiaa dan kedaerahan yang seimbang untuk menghindarkan harmoni, energi, dan kohesi sosial yang memadai. Pemilihan negara kesatuan sebagai sarana mempersatukan wilayah nusantara yang terdiri dari ribuan pulau, di mana Pancasila sebagai dasar negara, sebagai wahana mempertemukan kemajemukan nilai dan tradisi dari agama, suku, bahasa, dan budaya berbeda.
Belakangan ini landasan kehidupan bangsa, Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika sedikit terganggu dengan munculnya sikap politik sektarian dari sekelompok kecil anak bangsa, yang ingin memperjuangkan ideologi sendiri, jauh dari Pancasila dan NKRI.
“Kehadiran perempuan dalam politik kebangsaan penting dalam politik kebangsaan, di tengah munculnya arus politik, yang hendak merusak persatuan dalam berbangsa dan bernegara. Partisipasi perempuan dalam berpolitik merupakan konsekwensi logis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,”kata Siti.
“Tahun 2023 perempuan akan menjadi presiden di negeri ini. Presiden perempuan itu sudah disiapkan. Orang itu berasal dari Aisyiyah,”kata Siti Zuhro disambut tepuk tangan hadirin.
Habib Chirzin mengatakan, keterlibatan perempuan Muhammadiyah dalam pendidikan politik, kemahasiswaan, dan melahirkan tokoh-tokoh politik dan masyarakat yang menjunjung tinggi kehidupan berbangsa dan negara yang majemuk, patut diapresiasi. Politik perempuan Muhammadiyah adalah politik action, berkarya.
Indonesia butuh perempuan tangguh untuk meraih kesempatan berpartisipasi membangun bangsa ke depan. Tidak hanya itu, perempuan Muhammadiyah harus menyiapkan diri ke depan untuk menyongsong era baru, era keterbukaan dan kebebasan, yang ditawarkan media sosial dan teknologi moderen.
“Jaga moralitas, tetapi terus berinovasi. Perempuan butuh model kompetensi berbasis net working sehingga dibutukan kemampuan berbahasa asing, dan berkomunikasi antar bangsa,”kata Habib.
Wakil Rektor Aisyiyah Yogyakarta, Yuli Isnaeni mengatakan, Muhammadiyah lahir tahun 1912 oleh KH Achmad Dahlan. Dua tahun kemudian, yakni 1918 is mendirikan Madrasah Mu’allimin- Mu’allimaat. Dalam semarak Milad 1 abad madrasah Mu’allimin-Mu’allimaat, perempuan perlu merefleksikan bagaimana gerakan moral dari Mu’allimin-Mu’allimaat masa lalu, dan masa depan untuk memajukan bangsa ini melalui pendidikan dan aksi nyata.
Melalui madrasah ini, lahir pemimpin-pemimpin, yang memperjuangkan kepentingan bangsa. Mereka melakukan gerakan-gerakan moral, membangun komunitasi-komunitas, dakwah-dakwah, dan model-model pembelajaran yang tepat demi generasi bangsa ke depan yang lebih cerdas, maju dan berbudaya.
Konggres Perempuan Pertama 22-25 Desember 1918 dimotori oleh Aisyiyah. Gerakan perempuan Aisyiyah bersama Muhammadiyah memajukan pendidikan, politik, kebudayaan, dan kesehatan.
Menurut Prof Hj Masjitoh, guru besar Universitas Muhammadiyah Jakarta, yang juga alumuni Universitas Aisyiyah Yogyakarta 1971, dari tinjauan teologis tentang perempuan, perempuan sebagai mitra laki-laki. Perempuan perlu membangun peradaban manusia dan dunia bersama laki-laki.
“Karena sebagai mitra, perempuan juga tampil sebagai kompetitor kaum laki-laki di bidang pendidikan, politik, di ranah domestik dan publik, dan perempuan sebagai ibu bangsa. Perempuan harus mampu menggali segenap potensi diri, membina interaktif yang efektif, dan membangun kerjasama yang konstruktif,”kata Masjitoh.