Di Balik Jual Beli Jabatan di Cirebon
Sebulan sudah Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Berbagai tanya masih menyelimuti. Antara lain, mengapa sebagian warga mengucap syukur atas penangkapan itu? Padahal, dia kembali terpilih sebagai bupati untuk periode kedua dalam Pilkada Cirebon 2018.
Sunjaya ditangkap di Pendopo Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Rabu (24/10/2018). Dalam operasi tangkap tangan tersebut, kader PDI-P itu diduga menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 6,7 miliar. Berdasarkan temuan KPK, uang itu berasal dari jual beli jabatan lurah, camat, dan pejabat eselon III serta pemberian oleh swasta terkait proyek pembangunan di Cirebon tahun anggaran 2018.
Sunjaya kemudian ditetapkan sebagai tersangka dan mengenakan ”rompi oranye” tahanan KPK bersama Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Cirebon Gatot R yang diduga memberikan uang Rp 100 juta kepada Sunjaya terkait jabatan barunya. Ketika ditanyai wartawan di Gedung KPK, Sunjaya membantah hal tersebut.
Setelah penangkapan itu, di Cirebon, sejumlah warga menggelar sujud syukur di depan pendopo yang juga rumah jabatan bupati Cirebon. Di media sosial, komentar warganet turut menyudutkan Sunjaya, kepala daerah ke-100 yang diproses sejak KPK berdiri.
Akun Instagram bernama adien_abrien, misalnya, menuliskan, ”Saya sebagai warga Kabupaten Cirebon turut berbahagia pak atas ditangkapnya pak haji @kangsunjaya semoga betah pak”. Akun bernama lucky469607 juga berucap, ”Alhamdulillah…#2019gantibupaticirebon”.
Bahkan, Rakhmat Hidayat, seorang aparatur sipil negara di Puskesmas Kalimaro, Gebang, Cirebon, menyawer uang koin kepada pegawai dan warga setempat. Katanya, sawer tersebut bentuk nazarnya atau janji jika Sunjaya ditangkap KPK. Peristiwa itu terekam dan tersebar di media sosial.
Ekspresi syukur atas tertangkapnya Sunjaya merupakan bentuk kekecewaan masyarakat.
Rakhmat merupakan ASN di lingkungan Pemkab Cirebon yang lantang mengkritisi Sunjaya. Oktober 2016, ia mengungkapkan adanya praktik pungutan liar hingga puluhan juta rupiah dalam penerimaan pegawai kontrak di RSUD Arjawinangun, tempatnya bekerja saat itu. Hal itu mencuat setelah Rakhmat diduga dianiaya oknum anggota DPRD Kabupaten Cirebon berinisial YS.
Menurut dia, YS dikenal dekat dengan Bupati Cirebon Sunjaya Purwadi Sastra sehingga dapat meloloskan calon pegawai kontrak di sebuah instansi. Tuduhan tersebut dibantah Pemkab Cirebon. Belakangan, Rakhmat dimutasi ke Puskesmas Kalimaro, Gebang, sekitar 40 kilometer dari rumah dan tempat kerjanya yang lama.
Rakhmat menuturkan, ekspresi syukur atas tertangkapnya Sunjaya merupakan bentuk kekecewaan masyarakat. Apalagi, pasangan Sunjaya pada periode pertama menjabat, yakni Tasiya Soemadi alias Gotas, juga terbukti korupsi dana bantuan sosial dan hibah tahun 2009-2012 di Cirebon. Kerugian negara saat itu mencapai Rp 1,564 miliar. Mantan Ketua DPC PDI-P Kabupaten Cirebon tersebut akhirnya dibui lima tahun penjara setelah buron lebih dari setahun.
”Semenjak dia (Sunjaya) menjabat (2013-2018), sudah ada jual beli jabatan. Mutasi dan promosi dilakukan berdasarkan uang yang masuk ke Sunjaya dan kroninya, bukan karena kompetensi pegawai,” ujarnya kepada Kompas, Minggu (25/11/2018).
Kegembiraan sejumlah warga Cirebon karena bupatinya tertangkap KPK mengingatkan masa Sebelum Masehi di Roma. Ketika penguasa Roma, Julius Caesar, dibunuh, sementara sejumlah warga dan pejabat bergembira.
Dalam buku Dictator: Buku Ketiga dari Trilogi Cicero (2015) karya Robert Harris dituliskan, Quintus (adik senator Cicero) dan Atticus begitu gembira mendengar tewasnya Caesar. Bahkan, Atticus sempat menari-nari. Padahal, baru tiga bulan lalu mereka tertawa bersama sang penguasa dalam makan malam bersama.
Sunjaya mungkin tidak tahu pesan Cicero, senator sekaligus negarawan Roma. Bahwa setiap kali mengisi suatu jabatan, kita membuat satu orang berterima kasih dan sepuluh orang membenci kita.
Padahal, para bawahannya begitu menghormati Sunjaya. Pemandangan pejabat atau ASN Cirebon mencium tangan Sunjaya ketika bertemu sudah hal lazim meskipun usia mereka lebih tua dibandingkan sang bupati.
Setiap kali mengisi suatu jabatan, kita membuat satu orang berterima kasih dan sepuluh orang membenci kita.
Parahnya, berdasarkan temuan KPK, Sunjaya diduga memperjualbelikan jabatan. Apakah sebanding orang yang berterima kasih kepadanya dengan yang membencinya?
Di lingkungan Pemkab Cirebon, mutasi dan rotasi ASN memang bukan hal baru. Rakhmat menduga bupati yang memiliki toko beras di Jakarta itu melakukan mutasi dan rotasi hingga 21 kali selama menjabat.
Saking seringnya, sejumlah wartawan belum sempat mengenal satuan perangkat kerja daerah, orangnya sudah berganti. Ketika ditanyai tentang program, jawabannya nyaris sama, ”Saya baru di sini, jadi masih belajar”.
Bahkan, ketika hendak maju untuk kedua kalinya sebagai bupati, petahana merotasi 174 ASN. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 71 Ayat (2), kepala daerah, termasuk bupati, dilarang melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri. Panwaslu setempat pun sempat memanggil Sunjaya (Kompas, 10/1/2018).
Sekda Kabupaten Cirebon saat itu, Yayat Ruhyat, yang maju sebagai calon wakil bupati Cirebon tidak luput dari mutasi. Sebelumnya, Kalinga, mantan Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kabupaten Cirebon, yang juga maju sebagai calon bupati, turut terkena mutasi.
”Mutasi ini tidak ada unsur politis. Mutasi dilakukan karena banyak yang pensiun,” ujar Sunjaya ketika itu. Namun, ia tidak mengetahui pasti jumlah pegawai yang pensiun. Ia mengklaim hanya melakukan mutasi dua kali setahun selama empat tahun terakhir menjabat. Menurut dia, mutasi sudah sesuai prosedur karena mendapatkan persetujuan dari Kementerian Dalam Negeri. Toh, Panwaslu tak lagi memproses kasus itu.
Belakangan, waktu seolah menjawab, ada kepentingan lain di balik mutasi, rotasi, dan promosi yang dilakukan Sunjaya. KPK mensinyalir, kebijakan itu terkait jual beli jabatan. Modusnya, uang diserahkan setelah pejabat baru dilantik. Nilainya, puluhan hingga ratusan juta rupiah, tergantung jabatannya.
Walaupun ASN beberapa kali gonta-ganti posisi, kemiskinan di Cirebon tetap tinggi, mencapai 13 persen dari 2,3 juta penduduk.
Praktik ini tidak hanya memprihatinkan, tetapi juga berdampak langsung pada pelayanan masyarakat. Meskipun pejabat di Dinas PUPR silih berganti, jalanan di pelosok bahkan di pasar daerah di Cirebon masih rusak parah, berlubang.
Walaupun ASN beberapa kali gonta-ganti posisi, kemiskinan di sentra pertanian itu tetap tinggi, mencapai 13 persen dari 2,3 juta penduduk. Angka itu melebihi rata-rata tingkat kemiskinan di Jabar, yakni 7,74 persen.
Lalu, mengapa Sunjaya yang akhirnya tertangkap KPK tetap memenangkan Pilkada Cirebon 2018? Padahal, tidak sedikit warga bersyukur ketika sang bupati ditangkap KPK.
Sunjaya bersama pasangannya, Imron Rosyadi, bahkan meraih suara terbanyak hingga 319.630. Jumlah itu mengalahkan perolehan suara tiga pasangan calon bupati dan wakil bupati lainnya, yakni Kalinga-Dian Hernawa Susanty (265.317), Mohamad Luthfi-Nurul Qomar (263.070), dan Rakhmat-Yayat Ruhyat (152.502).
Khaerudin Imawan, pengamat politik dari Universitas Swadaya Sunan Gunung Jati, Cirebon, menilai, kemenangan Sunjaya dipengaruhi sejumlah faktor. ”Pertama, modal politik Sunjaya sebagai petahana yang dapat memengaruhi birokrasi,” ucapnya.
Paling tidak, para birokrat berupaya mendukung Sunjaya untuk mempertahankan posisinya. April lalu, misalnya, Camat Karangsembung, Cirebon, Hafidz Iswahyudi dijatuhi vonis 2 bulan penjara dan denda Rp 6 juta atau subsider 3 bulan penjara oleh Majelis Pengadilan Negeri Sumber, Cirebon. Hafidz terbukti mengarahkan aparat desa untuk memilih calon nomor dua, pasangan petahana Sunjaya Purwadi Sastra dan Imron (Kompas, 27/4/2018).
Kasus tersebut menunjukkan masih kuatnya pengaruh Sunjaya. Bagaimana dengan jual beli jabatan yang diduga dilakukan Sunjaya untuk kepentingan maju sebagai bupati periode kedua? Penyidikan KPK akan menjawab hal itu.
Faktor kedua yang membuat Sunjaya terpilih kembali, menurut Khaerudin, ialah peran Imron. Mantan kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Cirebon tersebut dikenal dekat dengan ulama. ”Imron mampu memengaruhi konstituen dari kalangan Nahdliyin yang jumlahnya cukup besar. Selain itu, faktor ekonomi Sunjaya juga tercatat paling besar,” ujarnya.
Lalu, bagaimana dengan dugaan jual beli jabatan dan perizinan oleh Sunjaya yang kabarnya telah diketahui oleh warga? ”Praktik itu sudah jadi rahasia umum di kalangan birokrat dan menengah ke atas. Sementara masyarakat menengah ke bawah yang jumlahnya lebih besar belum mengetahui hal itu. Mereka menjadi target suara Sunjaya,” ujar Khaerudin.
Kini, KPK masih mendalami dugaan jual beli jabatan dan perizinan yang dilakukan Sunjaya. Sementara pemerintahan di Kabupaten Cirebon terus berjalan di bawah kepemimpinan Penjabat Bupati Cirebon Dicky Saromi.
Namun, bukan tidak mungkin kasus serupa berulang di Cirebon. Penempatan jabatan di lingkungan Pemkab Cirebon harus dilakukan secara terbuka, mengedepankan kompetensi aparat, dan melibatkan pihak independen. Tanpa itu, kasus jual beli jabatan akan menguntungkan segelintir orang. Sementara masyarakat Cirebon harus menjadi korban yang merasakan buruknya pelayanan publik.