SURABAYA, KOMPAS – Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menilai guru berperan amat penting sebagai benteng dari serangan radikalisme yang bisa menghancurkan peradaban masyarakat. Para guru diajak untuk berani menolak radikalisme sekaligus melindungi seluruh anak didik dari pengaruh paham berbahaya tersebut.
“Guru kami harapkan melihat dengan cinta anak didik mereka dan memastikan tidak terpengaruh atau dipengaruhi oleh radikalisme,” ujar Lukman di sela Puncak Peringatan Hari Guru dan Anugerah Guru dan Tenaga Kependidikan Madrasah Berprestasi, Minggu (25/11/2018), di Dyandra Convention Hall, Surabaya, Jawa Timur.
Lukman mengingatkan, radikalisme merupakan faham transnasional yang bertentangan dengan jiwa luhur bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila. Bahaya radikalisme kian nyata dalam kehidupan saat ini yang ditunjang oleh kemajuan teknologi informasi. Radikalisme dapat bertransformasi menjadi terorisme dan berbagai gerakan yang ingin meruntuhkan tatanan kehidupan masyarakat atau bertujuan memecah persatuan dan kesatuan bangsa,
Menurut Lukman, kemajuan teknologi informasi yang ditandai dengan keberadaan generasi milenal patut disikapi secara kritis. Kemajuan TI membuat globalisasi menjadi tak terbendung. Batas nilai dan budaya antarkawasan menjadi semu. Keberagaman diserang dengan ambisi keseragaman sehingga terjadi kutub-kutub masyarakat yang bukan sekadar berseberangan melainkan “berkonflik”.
Kemajuan TI tentu terwujud dalam kecanggihan perangkat. Namun, pemakaian perangkat yang tak bijaksana melahirkan disrupsi teknologi. Misalnya, dehumanisme dalam keluarga, komunitas, atau bangsa akibat perangkat. Dalam keluarga, sebagai contoh, anggota setiap hari bertemu dan berkumpul tetapi masing-masing asyik dengan perangkat, tidak saling tegur apalagi bicara. “Itulah contoh dehumanisasi memengaruhi kehidupan kita,” kata Lukman.
Guru, dalam hal ini, punya peran strategis yang bisa diandalkan untuk memastikan generasi mendatang tidak kehilangan kemanusiaan atau jati diri meski zaman kian canggih. Untuk radikalisme, dalam konteks pendidikan keagamaan, guru diminta menjaga moderasi agar pemahaman dan pengamalan ajaran agama tetap moderat atau tidak mengarah pada ekstremisme. “Agama pada prinsipnya moderat. Menjadi tidak moderat atau ekstrem karena terjebak dalam pemahaman dan perilaku berlebihan,” ujar Lukman.
Pemahaman keagaman juga perlu dikontekskan dalam kehidupan keseharian atau berbangsa dan bernegara. Mencintai kebangsaan dan turut mempertahankan kedaulatan negara juga merupakan wujud pengamalan agama yang positif.