YOGYAKARTA, KOMPAS Ribuan warga Kota Yogyakarta mengalami gangguan jiwa, tetapi belum pada tahap sakit jiwa. Jumlah yang dihimpun dari semua puskesmas itu menunjukkan tren naik dua tahun terakhir.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Januari-Oktober 2018, sebanyak 6.753 orang terganggu jiwanya. Dari jumlah itu, 1.054 penderita baru.
Gangguan itu di antaranya berupa depresi ringan dipicu stres. Keluhan yang muncul dirasakan sebagai gangguan fisik. Terjadi peningkatan jumlah orang dengan gangguan jiwa.
Jika pada 2016 terdata 9.003 orang, pada 2017 menjadi 9.120 orang. Menurut Sekretaris Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta Agus Sudrajat, data gangguan jiwa itu belum masuk kategori sakit jiwa.
Namun, jika tak ditangani baik, bisa mengarah pada depresi berat berujung sakit jiwa. ”Seseorang yang mengalami gangguan jiwa sering tidak menyadari bahwa ia sedang mengalaminya,” kata Agus, Minggu (25/11/2018), di Yogyakarta.
Saat ini, semua puskesmas di Kota Yogyakarta telah menyediakan layanan konsultasi kesehatan jiwa. Dari 18 puskesmas, masing- masing ada satu psikolog untuk memberi layanan itu.
”Kami beri psikolog karena ini masih tataran gangguan jiwa. Jika memang nanti terindikasi sakit jiwa, akan dirujuk periksa ke psikiater,” kata Agus.
Setiap kelurahan juga punya kader kesehatan jiwa untuk mendeteksi dini gangguan jiwa di masyarakat. Diharapkan para kader membantu warga dengan gangguan jiwa untuk mengakses layanan kesehatan jiwa.
Namun, layanan kesehatan jiwa yang disediakan kurang optimal. Salah satunya dialami Afriani (25), warga Ngampilan. Awalnya, ia berobat ke puskesmas karena merasa sakit di dada. Kondisi badannya dinyatakan baik. Dokter menyarankan agar Afriani menyampaikan keluhan itu ke psikolog di puskesmas itu.
”Saya langsung ke psikolog sesuai saran dokter. Dokter mengira ada gangguan psikologis. Psikolog mendengarkan cerita dan keluhan saya. Dibilang akan mengabarkan hasil pemeriksaan, tetapi belum diberi kabar hingga berbulan-bulan,” tuturnya.
Kerja sama
Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi mengungkapkan, tingginya angka gangguan jiwa itu realitas yang harus dihadapi bersama dan tidak bisa
ditutupi. Kerja sama dengan organisasi non-pemerintah menjadi jalan untuk mencari solusi.
”Ini memang jadi bagian yang harus diselesaikan. Kami bekerja sama dengan organisasi masyarakat non-pemerintah untuk bersama-sama mendata dan membuat terapi yang tepat,” ujarnya.
Penanganan kesehatan jiwa, kata Agus, jadi prioritas Pemkot Yogyakarta melihat tingginya angka gangguan jiwa. Hal itu dilakukan melalui Peraturan Wali Kota Yogyakarta Nomor 68 Tahun 2018 tentang Rencana Aksi Daerah Upaya Kesehatan Jiwa dan Napza di Kota Yogyakarta Tahun 2018-2022. (NCA)