Infrastruktur Penanggulangan Banjir Dikaji Kembali
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Infrastruktur penanggulangan banjir di Kota Bandung menjadi perhatian pemerintah daerah setempat. Koordinasi antarpemangku kebijakan harus dilakukan intensif untuk mengatasi banjir yang berulang setiap musim hujan ini.
Wali Kota Bandung Oded M Danial, Senin (27/11/2018), menyatakan, penanganan banjir Pagarsih yang dilalui Sungai Citepus ini perlu diformulasikan dengan evaluasi infrastruktur yang telah dan akan dibangun untuk penanggulangan banjir. Evaluasi ini dilakukan karena aduan sebagian warga yang menyatakan pembangunan basement (ruang bawah tanah) menyebabkan air terakumulasi dan kemudian meluap memicu banjir.
Basement air di Pagarsih ini merupakan sodetan yang dibangun sepanjang 22 meter dengan lebar 5 meter. Ruang bawah tanah yang dibangun di bawah Jalan Pagarsih ini berguna untuk menampung air dari Sungai Citepus yang kerap meluap saat hujan deras.
”Masyarakat menyampaikan, banjir ini terjadi karena basement membuat air tertumpuk disini. Padahal, dulu kami merancang ini untuk menanggulangi banjir. Berarti harus ada kajian karena dianggap belum efektif,” tuturnya di sela pemantauan daerah banjir Pagarsih.
Terkait infrastruktur lainnya, Oded berharap kolam retensi Sirnaraga yang dibangun di aliran Citepus bisa menanggulangi banjir. Kolam retensi seluas 6.491 meter persegi dengan kapasitas 19.473 meter kubik ini ditargetkan beroperasi akhir November.
Selain itu, Oded menyatakan, koordinasi dengan pemangku wilayah lain yang masuk ke dalam kawasan Bandung utara, seperti Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat, lebih ditingkatkan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi banjir kiriman dari hulu yang diprediksi menjadi penyebab banjir kali ini. Ia juga berencana akan membahas penanggulangan banjir ini dengan pemerintah pusat.
”Kami akan membahas dengan pemerintah pusat karena banjir ini tidak bisa ditanggulangi dari anggaran pemerintah kota saja,” kata Oded.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bandung Arief Prasetya menambahkan, banjir kali ini terjadi akibat volume air yang melimpah dari hulu Sungai Citepus. Ia berujar, aduan warga terkait basement air ini akan dievaluasi.
”Menurut saya, basement air masih berfungsi dengan baik karena luapan Sungai Citepus masuk ke sana. Namun, air yang datang tidak tertampung dan terjadilah banjir. Ini yang akan kami cari jalan keluar,” ujarnya.
Arief berpendapat, banjir yang kerap terjadi di Bandung disebabkan oleh kondisi sungai yang tidak ideal. Ia memaparkan, setiap sungai setidaknya memiliki lebar 6 meter dengan posisi pinggir sungai yang terbuka selebar 3 meter.
”Di Kota Bandung berbeda. Hampir semua sungai tidak memiliki jarak terbuka untuk inspeksi, semuanya dibangun permukiman. Lebar sungai pun demikian, tidak ada yang lebih dari 3 meter,” tuturnya.
Sebelumnya, banjir merendam lebih dari 100 rumah warga wilayah permukiman di Kelurahan Cibadak, Senin (26/11). Banjir ini terjadi akibat Sungai Citepus yang meluap dengan ketinggian mencapai 1,5 meter. Selain merendam rumah, beberapa ruas jalan Pagarsih sulit dilalui kendaraan karena tergenang air sehingga menimbulkan kemacetan.
Santi (48), warga RW 007 Kelurahan Cibadak yang tinggal tepat di sebelah Sungai Citepus, menyatakan, permukaan sungai meluap semenjak hujan deras melanda daerah tersebut dari siang hingga sore. Ia juga melihat sungai mengalir sangat deras dan masuk ke permukiman sekitar pukul 12.30.
”Dulu, sebelum ada basement air, kami tidak pernah kebanjiran separah ini. Banjir memang ada, tetapi ini lebih besar. Permukiman ini seperti cekungan, jadi warga yang berada di permukaan paling rendah terendam banjir. Kemarin, sampai seleher sehingga kami tidak bisa apa-apa,” ujarnya.