PALU, KOMPAS Pembangunan hunian sementara untuk warga penyintas gempa, likuefaksi, dan tsunami di Sulawesi Tengah terus dikebut. Kontraktor mengerahkan pekerjanya sejak pagi hingga malam setiap hari. Warga berharap pendataan korban yang menempati huntara segera dilakukan.
”Kami optimistis huntara selesai awal Desember. Kami sudah bergerak cepat, bahkan ngebut membangun, mulai pukul 07.00-17.00, disambung lagi pukul 19.00-23.00,” ujar Ganda Permana, Project Manager Hutama Karya untuk proyek huntara, Rabu (28/11/2018).
Berdasarkan pantauan Kompas, di huntara yang dibangun PT Hutama Karya di Duyu, pekerja tengah memasang plafon, membuat septic tank, dan toilet.
Rangka baja ringan, dinding, atap, lantai, dan instalasi listrik sudah terpasang, tinggal pengecatan, memasang pintu, dan mengalirkan listrik.
Huntara lain, di Petobo, Palu, dikerjakan beberapa kontraktor, salah satunya PT Waskita Karya. Menurut pelaksana lapangan PT Waskita Karya, Uja, pihaknya membangun 18 huntara. "Sebelas unit sudah selesai lebih 75 persen. Lainnya sudah 50 persen,” kata Uja.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) membangun 1.200 unit huntara tersebar di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala. Selain oleh PUPR, sekitar 200 unit huntara dibangun perusahaan (swasta) dan lembaga nirlaba.
Pembangunan huntara tidak serentak sehingga selesainya bertahap. Spesifikasi huntara dan materialnya juga berbeda. Sebagian unit huntara dari Kementerian PUPR ditargetkan selesai pertengahan Desember.
Salah satu lokasi huntara Kementerian PUPR, yakni di Duyu, Balaroa, Kota Palu, yang dikerjakan PT Hutama Karya. Ada tujuh unit huntara di tempat ini. Selain di Balaroa, PT Hutama Karya juga membangun 51 huntara di Sigi. Semua hampir rampung.
Warga berharap segera dilakukan pendataan sehingga penempatan ke huntara sesuai keinginan. Rizal, warga Perumnas Balaroa, yang rumahnya tersapu likuefaksi, berharap nantinya tidak ditempatkan di unit huntara yang berlokasi jauh dari kampungnya. ” Huntara yang dibangun tidak di Balaroa.
Jaraknya pun cukup jauh sekitar 2 km. Kami bingung mengapa tidak ada yang dekat? Tidak mudah pindah kampung karena kami jadi pendatang. Ada sejarah kedekatan warga antarkampung, ada juga yang tidak,” kata Rizal. (PRA)