SEMARANG, KOMPAS — Pemberdayaan petani di Provinsi Jawa Tengah belum berjalan optimal. Kondisi ini ironis, terlebih saat Pemerintah Provinsi Jateng dan DPRD setempat telah membuat Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Namun, 40 persen dari 4,4 juta warga miskin masih bermata pencarian sebagai petani.
Pembina petani yang juga mantan Bupati Blora Yudi Sancoyo, Kamis (29/11/2018), mengatakan, idealnya pemberdayaan petani harus komprehensif. ”Pembinaan kelompok tani perlu berkesinambungan supaya mereka terus konsisten untuk bekerja sama dalam mengembangkan usaha tani,” ujarnya.
Dia mencontohkan pembinaan petani di Cepu, Kedungtuban, dan Menden di Blora. Di tempat itu, petani didorong membentuk kelompok tani dan koperasi yang mampu meningkatkan penghasilan. Koperasi-koperasi tersebut telah mampu mencukupi sarana produksi sekaligus menyalurkan gabah dan beras petani untuk dijual ke pasaran.
Sebagai orang yang turut membidani lahirnya Perda Nomor 5 Tahun 2016, Yudi menilai pendekatan pembinaan petani saat ini masih administratif. Termasuk program Kartu Tani Indonesia (KTI) yang diharapkan memudahkan petani memperoleh pupuk bersubsidi, benih unggul, serta kebutuhan pokok lain.
Program yang muncul belum pada tahap membantu petani mengolah ataupun memberdayakan gabah pascapanen supaya hasil panen yang dijual tidak sekadar gabah. Petani perlu sarana pengolahan, berikut kemudahan dalam memasarkan gabahnya tanpa bergantung pada tengkulak.
Apabila bergantung pada tengkulak, gabah petani akan melewati delapan mata rantai tata niaga gabah hingga di tangan tengkulak. Petani hanya memperoleh sekitar 30 persen dari keuntungan penjualan gabahnya. Keuntungan terbesar dinikmati tengkulak, terutama saat panen raya tiba.
Gabah dari petani dihargai Rp 2.100 per kilogram (kg), sedangkan pedagang menjual ke tengkulak bisa seharga Rp 2.900 per kg. Adapun oleh tengkulak, gabah diolah jadi beras dan laku dijual hingga Rp 7.900 per kg.
Kepala Biro Infrastruktur dan Sumber Daya Alam Pemprov Jateng Peni Rahayu mengakui, fungsi KTI memang belum optimal, termasuk dalam pemanfaatan, masih terkendala sumber daya manusia, mengingat usia petani rata-rata lebih dari 50 tahun. Di Jateng, KTI dibagikan kepada 2,5 juta petani.
Asuransi tani
Saat ini, program utama pemprov, menurut Peni, adalah memaksimalkan kepesertaan asuransi tani. Melalui Perda No 15/2016, Pemprov Jateng akan membantu iuran bagi petani yang ikut asuransi. Tujuannya, asuransi bagi petani dapat dibiayai ganda. Sebagian dibiayai pemerintah pusat dan sebagian lagi ditangani anggaran Pemprov Jateng.
”Bedanya, kalau dibiayai APBN, petani masih membayar sebesar Rp 32.000 dari jumlah iuran Rp 180.000 per musim tanam. Jika terjadi puso atau kerugian akibat bencana, petani mendapatkan dana pengganti sebesar Rp 6 juta per hektar. Untuk asuransi yang ditangani pemprov, petani tidak perlu menambah iuran karena sudah dibayar lunas oleh anggaran pemprov,” papar Peni.
Peni mengatakan, saat ini tengah dilakukan verifikasi pola penyatuan data antara petani penerima kartu tani dan data petani miskin. Petani miskin yang memiliki lahan dengan petani miskin tanpa lahan akan dibedakan. Ini bagian dari upaya pemberdayaan petani untuk mengurangi jumlah penduduk miskin.
”Petani miskin yang tidak memiliki lahan sendiri tentunya akan diarahkan menekuni usaha kecil dan menengah yang sepenuhnya dibantu dalam pelatihan hingga pemasaran. Ini bagian dari upaya pemberdayaan mereka supaya pendapatannya meningkat, tidak hanya dari pertanian semata. Program ini intensif dimulai 2019 mendatang,” kata Peni menjelaskan.