AMBON, KOMPAS Sagu telah menghidupi masyarakat, khususnya di Indonesia bagian timur. Bukannya dijadikan pilihan utama selain beras, keberadaan sagu masih saja sebatas potensi yang belum banyak diangkat di jagat kuliner.
Saat ini, di tengah menurunnya produksi beras akibat banyak hal, sagu dinilai bisa jadi salah satu solusi alternatif. ”Sagu makanan berkarbohidrat terbaik.
Mari dukung bersama, pemerintah, akademisi, tokoh agama, dan media untuk mengangkat pamor sagu,” kata Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional Letnan Jenderal Doni Monardo dalam seminar internasional Sagu Feeds the World, Rabu (28/11/2018) di Ambon.
Populasi sagu di Indonesia tersebar di areal 5,5 juta hektar yang sebagian besar ada di kawasan timur Indonesia. Jumlah terbesar di Provinsi Papua, yakni 4,7 juta ha, Papua Barat 510.213 ha, dan Kepulauan Maluku 60.000 ha. Sisanya di Kalimatan, Sumatera, dan Sulawesi. Sebanyak 90 persen sagu dunia ada di Indonesia.
Jumlah itu menunjukkan tingginya cadangan pangan di Indonesia. Dalam satu rumpun sagu ada sekitar enam batang sagu. Satu hektar ada sekitar 100 rumpun atau dalam 1 hektar terdapat 600 batang sagu. ”Jika satu pohon menghasilkan paling kurang 150 kilogram tepung sagu, satu bulan produksi sagu bisa mencapai 40 juta ton,” ujarnya.
Keunggulan sagu, lanjut Doni, dapat tumbuh di tengah kondisi perubahan iklim. Tidak seperti padi, sagu tak rakus air.
Realitas lapangan
Tantangan saat ini adalah mengenalkan sagu ke publik dan mengonsumsinya. Sagu tak hanya disajikan dalam bentuk sagu lempeng atau papeda, tetapi juga bisa diolah menjadi kue atau mi. Dalam seminar kemarin, sejumlah olahan sagu dipamerkan, termasuk mi.
Rektor Universitas Pattimura MJ Sapteno menilai, hilangnya pamor sagu disebabkan kebijakan penyeragaman pangan lewat swasembada beras sejak era Orde Baru. Demi swasembada beras, banyak hutan sagu di Maluku ditebangi untuk dijadikan sawah. Pemerintah lebih memprioritaskan padi ketimbang sagu.
Di Maluku, penebangan sagu masif terjadi di pesisir utara Pulau Seram dan Pulau Buru. Hutan sagu beralih fungsi menjadi sawah, permukiman transmigran, dan perkebunan kelapa sawit.
Sapteno mengharapkan keseriusan pemerintah. Jika visi menangkat pamor sagu sudah menjadi gerakan bersama, harus diikuti kebijakan nyata dengan tidak menghilangkan sagu.
Gubernur Maluku Said Assagaff mengakui kekeliruan masa lalu terkait penyeragaman pangan itu. Kekeliruan itu kini tengah diperbaiki pemerintah.
Untuk wilayah Indonesia timur seperti Maluku, seharusnya sagu, ubi, dan jagung yang diprioritaskan. Jika dibandingkan dengan padi, sagu tak minim risiko. Sagu dapat tumbuh dan meregenerasi dirinya sendiri tanpa memerlukan air banyak. Hasilnya pun lebih maksimal. (FRN)