Kolam retensi menjadi salah satu solusi mengatasi banjir yang selalu melanda Kota Bandung. Untuk itu, dibutuhkan lebih dari satu kolam, termasuk pelu dilakukan normalisasi sungai.
BANDUNG, KOMPAS Pemerintah Kota Bandung segera membangun satu kolam retensi baru untuk meminimalkan luapan Sungai Citepus di Kecamatan Astanaanyar, Kota Bandung, Jawa Barat. Namun, salah satu solusi menghadapi ancaman banjir itu membutuhkan dukungan untuk mendapatkan hasil terbaik.
”Sudah ada satu kolam retensi sedang dibangun di kawasan Sirnaraga, Kecamatan Cicendo, yang ditargetkan rampung awal tahun 2019. Luasnya 6.491 meter persegi dengan kapasitas 19.473 meter kubik.
Untuk memaksimalkan manfaatnya, kami berencana membangun kolam retensi baru seluas 1.000 meter persegi untuk mengurangi banjir Sungai Citepus di dua daerah rawan lainnya, seperti Kelurahan Pagarsih dan Kelurahan Cibadak, Kecamatan Astanaanyar,” kata Kepala Bidang Pemeliharaan di Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandung Tedi Setiadi di Bandung, Kamis (29/11/2018).
Akan tetapi, upaya meminimalkan banjir tak akan ideal jika hanya mengandalkan kolam retensi. Permasalahan lain seperti penyempitan badan sungai akibat terdesak permukiman dan pendangkalan akibat erosi dan sampah harus dilakukan.
Sebanyak 27 sungai dari 46 sungai di Kota Bandung mengalami penyempitan. ”Di Sungai Citepus yang luapannya kerap memicu banjir di Kecamatan Astanaanyar, misalnya, harus dilebarkan dari sekitar 3,5 meter menjadi 6 meter,” katanya.
Kepala Bidang Pelaksanaan Jaringan Sumber Air di Balai Besar Wilayah Sungai Citarum Suwarno mendukung upaya itu. Pihaknya sudah memiliki desainnya pelebaran Sungai Citepus. Titik sungai yang akan dilebarkan sepanjang 200 meter di Pagarsih.
Bachtiar Rachmat, warga Pagarsih, berharap solusi tepat dan cepat. Selain melebarkan badan sungai, ia berharap ada pengerukan sedimentasi akibat lumpur yang terbawa dari kawasan hulu.
”Kalau dari pengamatan warga, pengerukan sungai harus dilakukan di badan sungai sepanjang 3 kilometer, mulai dari Jalan Sudirman sampai Perumahan Muara. Tinggi sedimentasi bisa mencapai 1 meter,” kata Bachtiar.
Longsor
Sementara itu, puluhan warga korban gerakan tanah di Kampung Cihantap, Desa Puncaksari, Kecamatan Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat, terpaksa mengungsi setiap hujan deras di kawasan itu. Gerakan tanah terus merayap sehingga merusak 48 rumah.
”Kami masih trauma. Setiap hujan deras, pasti mengungsi ke rumah mertua. Kalau tetap bertahan di rumah, takutnya rumah roboh karena bangunannya banyak retakan,” ujar Indri (27), warga setempat.
Rumah Indri termasuk salah yang mengalami kerusakan paling parah. Selain dinding, lantai rumahnya juga retak di ruang tamu, kamar, dan dapur. Retakan pertama kali terjadi pada awal November. Retakan semakin parah saat hujan deras melanda.
Kecemasan Indri semakin bertambah karena musim hujan diprediksi masih terjadi hingga beberapa bulan ke depan. Apalagi, rumah mertuanya hanya berjarak 10 meter dari rumahnya. ”Semoga gerakan tanahnya tidak meluas. Kalau rumah mertua juga kena (gerakan tanah), tidak tahu lagi mau mengungsi ke mana,” ujarnya.
Olih (65), Ketua RW 007 Kampung Cihantap, mengatakan, gerakan tanah dipicu longsor pada tebing di sekitar permukiman warga. Saat itu hujan deras mengguyur lebih dari 10 jam.
Dengan kontur tanah bertebing dan persawahan, kampung itu rentan terjadi gerakan tanah saat musim hujan. Gerakan tanah sering terjadi sebelumnya, tetapi tak separah saat ini. ”Longsor ini akibat peralihan musim. Saat kemarau, tanah retak-retak. Mungkin tanahnya belum merekat, tetapi keburu hujan deras,” ujarnya. (SEM/TAM)