Rencana pengaspalan jalan menggunakan karet bakal gagal karena harga karet pada tingkat petani dihargai Rp 8.000 per kilogram. Harga itu lebih murah ketimbang harga pasar.
PALEMBANG, KOMPAS Instruksi Presiden Joko Widodo untuk menyerap karet rakyat guna dijadikan bahan campuran aspal di Sumatera Selatan terancam sulit dijalankan. Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional V Palembang, Dinas Perkebunan Sumsel, dan perusahaan pengolahan karet belum menyepakati harga dan jumlah karet yang akan diserap.
Dalam pertemuan sebelumnya, harga yang disepakati di tingkat petani adalah Rp 10.500 per kg. Namun, kemarin, Balai Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) V Palembang mengumumkan harga yang diserap di tingkat petani Rp 8.000 dan pabrikan Rp 13.000. Padahal, harga di tingkat petani minimal Rp 10.000 per kilogram.
Kepala BBPJN V Palembang Saiful Anwar dalam jumpa pers di Palembang, Jumat (30/11/2018), mengatakan, tahap awal, pihaknya akan membeli 1.248 ton karet berupa brown crep, yakni karet dengan kadar kering karet 55-60 persen dengan total dana sekitar Rp 23 miliar. Harga yang ditetapkan di tingkat petani Rp 8.000 per kg dan di tingkat pabrikan sekitar Rp 13.000 per kg.
Karet itu akan diaplikasikan di ruas jalan Muara Beliti-Tebing Tinggi-Lahat sejauh 10 kilometer dan ruas Prabumulih-Beringin- Baturaja sepanjang 17,25 kilometer. Penyerapan selanjutnya dilakukan di tahun berikutnya secara bertahap. Total ada 150.000 ton campuran aspal karet yang akan digunakan dengan kandungan 10.500 ton karet kering atau setara dengan 21.000 ton bahan olahan karet (bokar).
Hasil brown crepe akan disimpan di gudang paling lama dua tahun. ”Jadi, pada tahun 2020, pengolahan karet dan pengerjaan jalan sudah selesai,” kata Saiful. Pengolahan akan dipantau oleh Pusat Penelitian Karet di Bogor dan Sembawa, Banyuasin. Adapun pengolahan bahan campuran aspal dilakukan di Lampung.
”Jika program ini sudah diterapkam secara nasional, bukan tidak mungkin pabrik pengolahan aspal karet akan dibuat di Sumatera Selatan,” ucapnya.
Proses tender sudah dibuka dan pabrik boleh ikut serta dalam proyek ini, dengan syarat pabrik harus membeli karet ke petani Rp 8.000 per kg. Hal ini dibuktikan dengan surat keterangan asal bokar, rekening petani, dan KTP milik petani. ”Kalau tak ada bukti, karet tak akan kami bayar,” ujarnya.
Saiful menjelaskan, 1 kilometer jalan membutuhkan sekitar 38 ton aspal karet dengan penggunaan karet alami sekitar 3 ton. Pertengahan 2018, BBPJN sudah menggunakan aspal karet di ruas jalan Muara Beliti-Tebing Tinggi-Lahat sejauh 5,431 km.
Saat itu digunakan sekitar 450 ton aspal karet dengan nilai pembelian sekitar Rp 30 miliar. ”Jadi, sebelum ada instruksi Presiden pun kami sudah menggunakan aspal karet pertengahan 2018 lalu,” katanya. Aspal karet memiliki daya tahan yang jauh lebih baik daripada aspal biasanya, tetapi biayanya lebih tinggi 20 persen dibandingkan aspal biasa.
Khawatir tak laku
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Dinas Perkebunan Sumsel Rudi Arpian mengaku kaget dengan perubahan harga. Pada pertemuan sebelumnya, harga yang disepakati di tingkat petani adalah Rp 10.500 per kg. Adapun jumlah karet yang diserap hingga akhir Desember 2018 sebanyak 2.600 ton. ”Saya belum tahu apa yang menyebabkan perubahan ini,” katanya.
Menurut Rudi, penetapan harga Rp 8.000 tidak sesuai dengan harga pasar saat ini. Untuk harga kadar kering karet 60 persen, harga yang ditetapkan berkisar Rp 9.000-Rp 10.000 per kg. ”Saya khawatir tidak ada petani yang ingin menjual karetnya dengan harga Rp 8.000 per kg,” ujarnya.
Angka Rp 5.000-Rp 6.000 per kg yang diterima Presiden saat lawatannya ke Palembang merupakan harga karet dengan kadar 30 persen sampai 40 persen di kalangan petani yang tidak terdaftar di kelembagaan.
Ketua Gabungan Perusahaan Karet Indonesia Sumsel Alex K Eddy mengatakan belum menerima penetapan resmi terkait harga dan standardisasi jenis karet yang akan dibeli pemerintah. Namun, penetapan harga Rp 8.000 yang dikeluarkan itu lebih murah ketimbang harga pasar.
Saat ini, harga bokar di atas kapal 1,2 dolar AS atau Rp 17.280 per kg. Harga tingkat petani bergantung pada kadar karet yang dihasilkan. Jika 60 persen, berarti harganya Rp 10.368 per kg.
Jika dikurangi dengan biaya produksi pabrik yang dibebankan pada petani sebesar Rp 2.700 per kg, yang diterima petani Rp 7.668 per kg. ”Itulah sebabnya sulit untuk mematok harga karena perubahan harga pasar sangat sulit diprediksi. Biaya produksi juga beragam,” ucapnya. (RAM)