Topeng-topeng dalam Tradisi Manopeng
Tarian topeng sarat ritual merupakan bagian dari tradisi lama. Manopeng yang digelar setahun sekali itu awalnya ajang silaturahmi dan ungkapan syukur keluarga sejak ratusan tahun lalu. Kini, tarian itu tumbuh jadi kesenian yang menyedot perhatian publik.
Seusai isya, Minggu (7/10/2018), warga berbondongbondong datang ke Banyiur Luar, Kelurahan Basirih, Kecamatan Banjarmasin Barat, Kota Banjarmasin, Kalimantan Barat. Warga menuju lokasi pergelaran manopeng yang digelar sebuah keluarga. Warga berjejal di bawah tenda di tengah jalan, hendak menonton pentas tarian topeng di panggung kecil.
Malam itu, sebagian ruas Jalan Banyiur Luar ditutup. Selain karena tingginya animo warga menyaksikan manopeng, juga karena kehadiran Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina dan Wakil Wali Kota Banjarmasin Hermansyah. Turut hadir, tamu Pemkot Banjarmasin dari Italia, Maroko, dan Vietnam.
”Manopeng ini tontonan sangat langka. Di Banjarmasin hanya setahun sekali. Kami berterima kasih kepada keluarga yang telah menyelenggarakan,” kata Ibnu Sina.
Pukul 20.30 Wita, tari topeng yang dinantinantikan akhirnya dimulai. Tari topeng tujuh bidadari jadi pembuka. Musik gamelan Banjar mengalun berbarengan dengan aroma kemenyan.
Satu per satu penari perempuan keluar dari balik tirai, tampil di panggung. Mereka lebih dulu menjalani ritual tapung tawar yang dipimpin Basrin (56), pawang manopeng.
Basrin memerciki para penari dengan air. Sebelumnya, ritual sama untuk para pemain musik gamelan, sajen, dan area sekitar panggung.
Tujuh perempuan mulai menari seirama alunan gamelan Banjar. Setelah melakukan beberapa gerakan, mereka mengambil topeng, lalu mengenakannya dan melanjutkan menari.
Awalnya, gerakan tujuh penari bertopeng itu masih seirama. Beberapa menit lewat, gerakannya mulai berbeda. Setiap penari punya gerakan sendiri, seperti kesurupan. Tak lama, satu per satu penari itu tumbang.
Saat tujuh penari di panggung tumbang, di tengah penonton ada yang kesurupan sambil menari. Beberapa orang langsung memegang dan membawanya ke panggung. Penonton itu diberi topeng dan selendang untuk lanjut menari di panggung mengikuti irama gamelan. Namun, beberapa saat kemudian, tumbang juga.
Basrin menyadarkan para penari dan penonton itu. Beberapa penari bangun dan menari lagi. Namun, saat sudah menari mengenakan topeng dan selendang, lagi-lagi mereka kesurupan dan tumbang. Itu terus berulang.
”Sebelum mengenakan topeng, rasanya biasa saja, seperti layaknya menari dengan gerakan sudah biasa. Tetapi kalau sudah bertopeng, atmosfernya beda, mengawangawang dan tak sadar di mana dan sedang apa,” kata Henny Apriana Nisa (23), penari topeng.
Dengan topeng, kata Henny, gerakan tari hilang kendali. ”Pernah ada yang bilang, waktu saya pertama kali ikut menari, gerakan saya tidak seirama dengan musik. Namun, setelah mengenakan topeng, gerakannya sangat padu. Gerakan saya lemah lembut sekali. Bukan pemusik yang mengiringi saya, tetapi saya yang mengiringi pemusik,” tuturnya.
Tarian puncak
Pukul 22.15 Wita, suasana panggung berganti. Tampil dua lakon laki-laki bertopeng, Tembem dan Pentul. Mereka berdialog dalam bahasa Banjar, menyapa anggota keluarga, serta memeriksa dan memakan sajen yang tersedia. Dua lakon itu lalu menari mengikuti gamelan.
Tak lama, tiba-tiba ada yang kesurupan. Penonton langsung menangkap dan mengenakan topeng merah. Orang itu terpilih memerankan lakon Sangkala.
Basrin mendekati Sangkala dan menggiring menuju air kembang. Sangkala seperti memberkati air itu, lalu menyiramkan ke warga yang ingin sembuh. Setelah Sangkala menjauh, para anggota keluarga dan warga berebut air yang dipercaya memberi berkah. Sangkala tumbang, lalu Basrin menyadarkan lagi.
”Tarian Sangkala merupakan tarian puncak dalam pergelaran manopeng. Dengan tampilnya Sangkala, pergelaran tari topeng selesai,” kata Maspiaty (51), warga yang rutin menggelar manopeng di Banyiur Luar.
Pertunjukan tarian topeng dalam pergelaran manopeng hanya berlangsung sekitar dua jam. Namun, pelaksanaan tradisi itu berlangsung tiga hari, dari Jumat hingga Minggu. ”Puncaknya digelar Minggu malam,” ujarnya.
Hari Jumat, keluarga melabuh sajen ke Sungai Martapura dan menggelar makan wajik. Keesokan harinya, mereka membuat 41 macam kue tradisional atau wadai Banjar dan sajen pelengkap ritual manopeng, serta menyiapkan panggung dan peralatan musik gamelan Banjar.
”Setelah ritual puncak Minggu malam, masih ada ritual lagi Senin subuh, yakni ritual memulangkan makhluk yang tak kasat mata ke alamnya. Mereka sebelumnya ikut menari. Ritual pemulangan itu diiringi musik gamelan,” tuturnya.
Ritual pengobatan
Menurut Maspiaty, manopeng merupakan tradisi turun-temurun dalam keluarga besar mereka. Tradisi itu digelar setahun sekali di bulan Muharam. Ritual manopeng digelar sebagai tradisi keluarga sejak ratusan tahun.
Pada hajatan itu, semua keluarga berkumpul untuk bersilaturahmi sekaligus selamatan. Meskipun hajatan keluarga, warga lain diperkenankan datang, terutama yang berikhtiar sembuh. Yang ingin ikut menari juga diperkenankan seizin keluarga.
Tradisi manopeng awalnya hanya digelar di dalam rumah. Karena banyak warga ingin menyaksikan, tarian topeng itu dipentaskan di luar rumah. Mereka membuat panggung di teras atau depan rumah karena tempat pelaksanaan tidak boleh jauh dari rumah, apalagi sampai ke luar wilayah Banyiur Luar.
Wakil Wali Kota Banjarmasin Hermansyah mengatakan, manopeng adalah salah satu tradisi budaya Banjar yang patut dilestarikan. ”Pergelaran manopeng tidak sekadar untuk hiburan rakyat, tetapi juga daya tarik wisata. Ini bisa menarik kunjungan wisatawan lokal dan mancanegara,” katanya.