JAKARTA, KOMPAS — Penduduk lokal didorong untuk lebih terlibat dalam pengelolaan pariwisata di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Dengan demikian, pariwisata di Kepulauan Wakatobi dapat lebih berkelanjutan dan juga mampu menyejahterakan penduduk lokal.
”Kami akan melatih penduduk lokal yang membangun rumah inap supaya pelayanannya lebih baik. Kami sudah ke Wakatobi dan sedang mencari dana untuk pelatihan itu,” kata praktisi pembangunan Program Pembangunan PBB (UNDP) di Jakarta, Ryan Newton Haughton, Jumat (30/11/2018), di Jakarta.
Menurut Haughton, pembangunan pariwisata tidak harus selalu melibatkan investor besar. ”Investor besar tentu boleh dilibatkan. Namun, ada berbagai segmen wisatawan sehingga mungkin ada yang lebih senang tidur di rumah inap. Ketika rumah inap dibangun penduduk lokal, maka tentu dampaknya baik bagi perekonomian mereka,” ujarnya.
Haughton menginformasikan adanya rumah inap di Pulau Sumba yang dikelola oleh warga berkebangsaan asing yang pernah bekerja di sebuah hotel. ”Warga asing itu kemudian melatih penduduk lokal cara mengelola rumah inap. UNDP akan bekerja sama dengan konsultan dari Jakarta untuk melatih penduduk lokal (Wakatobi) dengan cara seperti itu,” ujarnya.
Menurut Hiramsyah S Thaib, Ketua Kelompok Kerja Bidang Percepatan Pembangunan 10 Destinasi Pariwisata Prioritas Kementerian Pariwisata, pembangunan rumah inap merupakan langkah strategis. ”Rumah inap adalah program prioritas kedua Kementerian Pariwisata pada tahun 2018. Program pertama adalah pariwisata digital, sedangkan program ketiga adalah peningkatan akses transportasi udara,” ujarnya dihubungi terpisah.
Kementerian Pariwisata pada tahun 2018 juga menargetkan peningkatan kapasitas bagi 100.000 rumah inap. ”Ada yang hanya direnovasi sampai dibuatkan rumah inap baru,” ujarnya. Hiramsyah pun mendukung pendampingan UNDP bagi penduduk lokal di Wakatobi yang masuk dalam 10 destinasi pariwisata prioritas.
”Pemberdayaan penduduk lokal untuk menyediakan rumah inap jelas hal positif. Kalau tidak, siapa yang menjaga koral atau laut? Kalau koral rusak, butuh waktu puluhan tahun untuk memperbaikinya,” ujar Hiramsyah.
Pemikiran Hiramsyah sejalan dengan target program dari UNDP. ”Dalam memajukan pariwisata di Wakatobi, tentunya harus ada keseimbangan antara pembangunan dan (kelestarian) lingkungan,” ujar Haughton.
Harus ada keseimbangan antara pembangunan dan (kelestarian) lingkungan.
Dukungan infrastruktur
Demi meningkatkan pariwisata Wakatobi, kata Haughton, akses transportasi udara juga harus dipermudah. ”Dari Jakarta, saat ini wisatawan harus transit di Makassar dan Kendari sebelum mendarat di (Pulau) Wangi-wangi,” ujarnya.
Pemerintah Indonesia, kata Haughton, telah meningkatkan kapasitas Bandara Silangit demi pariwisata Danau Toba. ”Saya berharap Wakatobi juga mendapatkan dukungan serupa,” kata dia.
Kementerian Pariwisata, kata Hiramsyah, kini sedang melobi berbagai pihak untuk pembukaan rute penerbangan Denpasar-Wangi-wangi ataupun Manado-Wangi-wangi. ”Kami juga mempelajari kemungkinan pendaratan pesawat amfibi di Wakatobi,” ujarnya.
Namun, kata Hiramsyah, pembangunan transportasi udara juga harus memperhatikan daya dukung pariwisata dan kelestarian alam. ”Jangan terlalu cepat juga. Harus dipertimbangkan dengan matang. Kalau terlalu banyak wisatawan yang datang tanpa kesiapan penginapan, infrastruktur lokal, hingga berbagai fasilitas lainnya maka tidak baik,” ujarnya.
Hiramsyah mengingatkan ada potensi kerusakan alam di Wakatobi jika wisatawan yang masuk terlalu banyak. ”Wakatobi dan Raja Ampat, misalnya, tidak seluas Danau Toba. Apalagi, bagi kami yang terpenting adalah juga keberlanjutan dari sebuah destinasi pariwisata. Sebab, kami menginginkan adanya sumbangan besar yang berkelanjutan bagi pendapatan negara dari sektor pariwisata,” ujarnya.