BANDUNG, KOMPAS - Tingginya pangsa pasar gim di Indonesia belum dimanfaatkan para pengembang lokal. Minimnya sumber daya manusia berkualitas jadi penyebab utama.
Pasar gim Indonesia berkembang pesat, tetapi belum didominasi kreasi buatan pengembang Tanah Air. Selain modal, ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas memicu lesunya geliat industri gim nasional.
”Pengembang lokal masih belum mendapat keuntungan maksimal dari geliat pangsa pasar gim, baru sekitar 1 persen dari peluang yang ada,” ujar Ketua Umum Asosiasi Gim Indonesia Narenda Wicaksono dalam acara Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Development Conference di Bandung, Jawa Barat, Minggu (2/12/2018).
Narenda mengatakan, mengacu pada data Newzoo, perusahaan riset gim global, Indonesia di peringkat ke-16 dalam pasar gim dunia tahun 2017. Pasar di Indonesia menempati posisi pertama di Asia Tenggara.
Dengan pengguna 43,7 juta orang, Indonesia menghasilkan 879, 7 juta dollar AS. Pada tahun yang sama, Malaysia menempati peringkat ke-21 dan Singapura di posisi ke-32.
”Amat disayangkan anak bangsa tidak menikmati keuntungan itu. Uangnya jadi milik pengembang luar negeri. Berkaca dari hal ini, pengembangan gim Tanah Air harus menjadi perhatian penting,” ujarnya.
Narenda memaparkan, kondisi ini terjadi karena studio gim lokal kesulitan mengembangkan hidupnya. Tidak semua lulusan teknik informatika memenuhi kebutuhan karena profesi ini membutuhkan ketekunan dan kemampuan mengatasi gangguan dengan cepat. Selain itu, tidak semua lulusan perguruan tinggi di bidang ini memiliki dasar matematika yang bagus.
”Indonesia punya banyak lulusan teknologi informatika, tetapi tidak semuanya berkualitas. Secara formalitas, pendidikan di Indonesia kebanyakan menghafal dan mengingat.
Sementara dalam pembuatan gim, yang dibutuhkan adalah berpikir kritis menyelesaikan masalah berbentuk kode,” paparnya.
Paling dicari
Deputi Infrastruktur di Bekraf Hari Santosa Sungkari menyatakan, gairah industri gim dunia tengah menjalar di Tanah Air. Penghasilan yang diperoleh Indonesia dari industri gim mencapai Rp 1 triliun setiap tahunnya.
Akan tetapi, senada dengan Narenda, Hari mengatakan, peluang yang didapatkan bisa lebih besar. Saat ini pengembang gim Tanah Air belum bisa mengeluarkan terbaiknya. Ada 960 perusahaan rintisan (start up) digital dalam negeri, baik gim maupun lainnya, sangat membutuhkan tenaga pengembang.
Dengan peningkatan penghasilan 5-9 persen per tahun, pengembang gim berpotensi menjadi salah satu profesi yang paling dicari.
”Profesi ini membutuhkan kemampuan menyelesaikan masalah dengan kritis. Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi, mau tidak mau perusahaan akan mencari tenaga kerja dari luar,” ujarnya.
Pasar terbuka
Untuk menyelesaikan masalah ini, kata Hari, pemerintah berupaya menyokong industri digital, khususnya gim, dari hulu ke hilir. Peningkatan sumber daya manusia melalui pelatihan dan pertemuan antarpengembang tengah gencar dilakukan.
Penambahan infrastruktur dan bantuan mempertemukan pengembang dengan investor, kata Hari, juga akan terus dilakukan pemerintah. ”Industri digital adalah pasar yang terbuka. Semua orang bisa mengakses melalui internet. Oleh karena itu, kunci utamanya ada di pengembangan kualitas sumber daya manusianya,” ujarnya. (RTG)