MANADO, KOMPAS — Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memberi status kewarganegaraan Indonesia kepada 227 warga keturunan Sangihe asal Filipina yang berdomisili di Sulawesi Utara. Hal tersebut mewujudkan harapan warga yang selama bertahun-tahun tak memiliki kepastian status kependudukan tersebut.
Kepala Kantor Imigrasi Manado Freece Sumolang di Manado, Selasa (4/12/2018), mengatakan, penyerahan status kewarganegaraan dilakukan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly kepada Gubernur Sulut Olly Dondokambey. Olly kemudian menyerahkan dokumen tersebut kepada para penerima beberapa waktu lalu.
”Dengan status itu, warga sudah dapat mengurus dokumen kependudukan ataupun keimigrasian. Banyak dari warga mengurus surat nikah,” kata Freece.
Ia mengatakan, jumlah warga keturunan Sangihe pemohon status kewarganegaraan ke Kementerian Hukum dan HAM sebanyak 499 orang. Sebagian dari jumlah itu berprofesi sebagai nelayan yang berdomisili di Kota Bitung dan Kabupaten Sangihe.
Olly Dondokambey mengatakan, pihaknya berupaya agar semua warga keturunan Sangihe asal Filipina di Sulut, yang mencapai 2.000 orang, memperoleh status kewarganegaraan Indonesia. Hal itu sebagai misi kemanusiaan mengingat warga tersebut selama bertahun-tahun hidup tanpa jaminan sosial dan kesehatan dari negara akibat tak memiliki status kewarganegaraan.
”Jangankan menerima jaminan sosial, untuk menikah saja mereka susah. Padahal, warga Sangihe asal Filipina itu telah berkeluarga di Bitung tanpa perkawinan yang sah,” katanya.
Olly mengatakan, konstitusi Indonesia menganut prinsip memberikan perlindungan maksimal bagi segenap bangsa. Salah satunya adalah melalui Pasal 28 D Ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
Wali Kota Bitung Max Lomban menyebut, 1.500 warga keturunan Sangihe asal Filipina di Bitung telah memperoleh kartu domisili sementara pada tahun 2016. Kartu itu sebagai landasan pengajuan permohonan kewarganegaraan. ”Kami telah mendata mereka dan memberikan kartu pengenal dan domisili,” katanya.
Surat nikah
Andreo Sadaha (45), warga keturunan Sangihe, mengungkapkan, dirinya tinggal di Bitung sejak tahun 2000 dan telah hidup bersama pasangannya, warga Bitung. Andreo dan ribuan warga lainnya terhalang menikah secara sah disebabkan tidak memiliki dokumen kependudukan meski telah memiliki tiga anak.
”Saya sangat gembira menjadi warga negara Indonesia. Orangtua saya asal Sangihe hidup di General Santos (Filipina). Sekarang, saya dapat menikah, status anak kami juga menjadi jelas,” kata Andreo.
Junio Bantika, warga lain, mendatakan sudah 15 tahun tinggal di Bitung. Ia hidup bersama pasangannya, Lina, warga Bitung. Mereka sudah dikaruniai dua anak berusia 10 tahun dan 8 tahun.
”Saya harus memiliki KTP untuk menikah, tapi mengurusnya sangat susah. Di General Santos, kami diperlakukan sebagai orang asing, di Bitung juga orang asing. Kami ke gereja untuk menikah juga ditolak. Dokumen kewarganegaraan penting bagi kehidupan kami selanjutnya di Bitung,” kata Junio.