MAKASSAR, KOMPAS - Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, otoritas keuangan, dan pengamat ekonomi memprediksi prospek ekonomi di daerah ini masih cukup cerah pada tahun 2019. Bahkan, kekhawatiran pelaku usaha dan perbankan terkait perhelatan politik tak perlu berlebihan. Tahun politik justru bisa jadi peluang karena akan ada penggelontoran uang atau belanja politik yang cukup besar.
Hal ini mengemuka dalam Diskusi Celebes Economic Outlook yang diselenggarakan Celebes Media di Makassar, Senin (3/12/2018). Diskusi menampilkan pembicara Deputi Kepala Bank Indonesia Perwakilan Sulsel Dwityapoetra S Besar, Kepala Kantor Otoritas Jasa Keuangan Regional 6 Zulmi, Kepala Badan Litbang Sulsel Iqbal Suhaeb, dan pengamat ekonomi Unhas Prof Dr Marsuki, DEA.
”Kami optimistis pertumbuhan ekonomi Sulsel masih cerah tahun depan. Angka prediksi kami di kisaran 7,2-7,4 persen. Masih ada banyak peluang yang bisa dimaksimalkan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, terutama ekspor dan sektor pariwisata,” kata Dwityapoetra.
Hal sama dikatakan Iqbal Suhaeb. Menurut dia, tahun politik akan menjadi peluang. Banyak uang yang digelontorkan para calon untuk belanja politik, di antaranya kampanye.
”Ini bisa jadi peluang yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Contohnya, percetakan, penyewaan peralatan, hingga perdagangan berbagai barang,” katanya.
Menurut Iqbal, Sulsel juga masih menggenjot pertumbuhan sektor pariwisata yang lesu pascakrisis ekonomi. ”Ini juga peluang untuk pengembangan, terutama ekonomi kreatif,” ujarnya. Terkait peningkatan pendapatan masyarakat, menurut dia, pemerintah tak bisa berperan langsung.
Namun, sejumlah program yang akan meringankan beban masyarakat, misalnya di bidang kesehatan dan pendidikan, akan dilaksanakan. Sejumlah rumah sakit regional akan dibangun secara bertahap mulai 2019.
Angka pertumbuhan
Marsuki mengingatkan agar dasar dan struktur ekonomi diperkuat. Pemerintah jangan hanya mengejar angka pertumbuhan jika itu hanya angka untuk daerah dan bukan indikator kesejahteraan yang merata di masyarakat.
”Saya selalu bertanya, sebenarnya tujuan pembangunan untuk maju atau sejahtera. Angka pertumbuhan yang tinggi apakah itu merata,” ungkap Marsuki.
Ia mengemukakan, ada sejumlah kasus di mana angka pertumbuhan tinggi, tetapi tingkat kesejahteraan rendah. Di Sulsel, saat terjadi krisis ekonomi dan dollar AS menguat, warga tak terlalu merasakan krisis karena mereka punya komoditas ekspor. ”Sekarang, saat krisis, masyarakat juga mengalaminya. Artinya, ada yang berubah,” katanya.
Marsuki lebih sependapat jika penurunan pengangguran dengan memperluas lapangan usaha. Tingkat pengangguran yang rendah berpengaruh signifikan pada meningkatnya kesejahteraan serta mengurangi kesenjangan dan kemiskinan. Ia mencontohkan ekspor Sulsel yang didominasi nikel yang berarti lebih menguntungkan pemilik modal. (REN)