BANDUNG, KOMPAS – Stigma terhadap orang dengan HIV/AIDS atau ODHA di Indonesia masih tinggi. Oleh sebab itu, keterbukaan terhadap status ODHA belum dilakukan menyeluruh, salah satunya di lingkungan pendidikan.
“Penerimaan terhadap status ODHA masih rendah. Jika lingkungannya tidak siap, ODHA dikhawatirkan didiskriminasi sehingga bisa memberi tekanan kepada mereka,” ujar Direktur Rumah Cemara Aditia Taslim di Bandung, Jawa Barat, Senin (3/12/2018).
Rumah Cemara adalah lembaga swadaya yang mendampingi kaum marjinal, salah satunya ODHA. Organisasi ini didirikan pada 2003 dan berkedudukan di Bandung.
Aditia mencontohkan, dalam mendampingi anak dengan HIV/AIDS, pihaknya cenderung tidak menginformasikannya kepada sekolah. Selain menganggap kurang relevan, anak dan lingkungan sekolah juga dikhawatirkan tidak siap dengan kondisi itu sehingga anak dengan HIV/AIDS berpotensi dikucilkan.
“Tidak mudah menjelaskan HIV/AIDS kepada siswa, terutama yang masih SD. Jadi, statusnya (ODHA) tidak dibuka, namun pendampingan harus diperkuat,” ujarnya.
Selain itu, sosialisasi mengenai ODHA juga perlu ditingkatkan. Hal ini dibutuhkan agar masyarakat lebih memahami HIV/AIDS, termasuk cara penularannya.
“Contohnya, jika orangtuanya ODHA, belum tentu anaknya terkena HIV/AIDS. Jadi, jangan sampai masyarakat takut, tapi tidak rasional karena tidak memahami apa yang harus ditakuti,” ujarnya.
Menurut Aditia, pendekatan pemahaman terhadap HIV/AIDS juga perlu diperluas. Dengan demikian, HIV/AIDS tidak menjadi isu tersendiri, melainkan sebagai isu yang bisa berkaitan dengan masalah kesehatan lainnya.
“Isunya tidak hanya menyoroti HIV/AIDS, tetapi juga menjangkau mengenai akses pengobatan yang diperlukan masyarakat,” ucapnya.
Eva Dewi Rahmadiani (35), penyintas HIV di Rumah Cemara, mengaku pernah terstigma. Langkahnya membuka statusnya sebagai ODHA membuat anaknya yang masih berusia tujuh tahun di lingkungan sekolah sempat dijauhi.
“Anak saya bilang enggak ada yang mau berteman dengannya. Dia pun sempat enggak mau sekolah. Awalnya saya berpikir itu hal biasa. Mungkin dia sedang berantem dengan teman-temannya,” kata Eva.
Akan tetapi, dugaan Eva itu keliru. Dia mendapat informasi dari saudaranya bahwa sejumlah orangtua siswa di sekolah anaknya mengetahui statusnya sebagai ODHA.
”Saya jelaskan kepada orangtua siswa lainnya soal status saya. Anak saya juga negatif HIV. Saya motivasi anak saya untuk tetap bersekolah,” ujarnya.
Stigma negatif sebagai ODHA membuat Eva termotivasi untuk membuktikan diri. Ibu tiga anak itu menjadi satu-satunya perempuan di timnas Indonesia untuk Homeless World Cup (HWC) di Meksiko pada September lalu.