Pekerja Rumahan dan Buruh Butuh Layanan Kesehatan dari Pemerintah
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Ribuan pekerja rumahan dan buruh pasar di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah belum mendapat perhatian dari pemerintah. Para pekerja mayoritas perempuan tersebut cenderung diperlakukan diskriminatif oleh pengusaha. Mereka butuh jaminan layanan kesehatan dari pemerintah.
Koordinator Federasi Serikat Pekerja Rumahan Bantul, Warisan (47), dalam dialog dengan Komisi IX DPR di Yogyakarta, Rabu (5/12/2018), mengatakan, pekerja rumahan adalah pekerja yang mengambil bahan material dari juragan dan pengepul kemudian mengerjakan sendiri di rumah. Ada macam-macam jenis pekerjaan, tergantung jenis usaha dari pengusaha atau juragan.
”Hasil pekerjaan diserahkan kepada juragan UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah). Pekerja dibayar sesuai jumlah dan jenis pekerjaan. Kami menghidupkan UMKM di daerah itu. Tanpa mereka, UMKM tidak akan berkembang seperti saat ini. Namun, sampai hari ini, pekerja rumahan tidak pernah mendapat perhatian dari pemerintah, terutama menyangkut keanggotaan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan ataupun BPJS Kesehatan,” tutur Warisan.
Pertemuan itu dipimpin Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf, didampingi Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi DIY Andung Prihadi Santosa. Pertemuan diikuti Sekretaris Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Ending, 17 anggota Komisi IX DPR, Deputi Direktur BPJS Ketenagakerjaan DIY Moch Triyono, LSM, dan perwakilan buruh informal.
Menurut Warisan, pekerja rumahan ini sebagian besar perempuan. Di Kabupaten Bantul, ada 10 serikat pekerja rumahan. Serikat buruh perempuan ini didirikan dengan surat keputusan pemerintah desa setempat, dan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bantul. Jumlah pekerja rumahan di Bantul 2.297 orang dan di DIY terdapat sekitar 4.570 pekerja rumahan.
Pendapatan mereka menambah penghasilan ekonomi keluarga, tetapi tidak diperhitungkan pemerintah. Selain itu, ada tindakan diskriminasi dari pengusaha UMKN terhadap kaum perempuan dalam hal memberikan pekerjaan dan upah.
”Kalau laki-laki, disuruh mengambil pekerjaan sebanyak mungkin. Namun, kalau perempuan, selalu dibatasi. Juga menyangkut upah yang diberikan untuk jenis pekerjaan yang sama dan hasil yang sama, tetapi perempuan diupah lebih rendah dibandingkan laki-laki,” tutur Warisan.
Fasilitas kerja, seperti listrik dan alat potong, disiapkan pekerja. Hasil pekerjaan tergantung pesanan. Upah diberikan sesuai dengan kesepakatan, dihitung per satuan jenis barang, atau dihitung keseluruhan. Misalnya, menjahit tas, membatik, dan menyiapkan bahan kemasan barang.
Rubiah, buruh gendong di pasar tradisional Bantul, mengaku, saat mengalami sakit, ia tidak mendapatkan pelayanan kesehatan dari rumah sakit atau puskesmas melalui kartu BPJS Ketenagakerjaan atau BPJS Kesehatan. Janda tiga anak ini hanya membeli obat di apotek terdekat dengan uang pribadi. Jarang, ia berkonsultasi dengan dokter tentang penyakit yang diderita. Meski dalam kondisi sakit, ia tetap bekerja mengambil bahan meterial dari juragan atau memikul barang di pasar.
Penghasilan Rubiah rata-rata Rp 20.000 per hari. Namun, saat sakit, ia tidak mendapatkan uang sama sekali sehingga uang yang dikumpulkan sebelumnya terpaksa digunakan untuk belanja makan minum bersama tiga anaknya.
Moch Triyono mengatakan, iuran BPJS Ketenagakerjaan Rp 16.800 per bulan per orang. Jumlah ini mestinya bisa dipenuhi para pekerja rumahan atau buruh gendong kalau mereka merasa iuran itu juga penting.
”Soal keanggotaan BPJS Ketenagakerjaan ini sudah kami lakukan sosialisasi dengan berbagai cara, termasuk melibatkan Indomaret, Alfamart, dan bank-bank melalui spanduk dan slip belanja. Namun, (hasilnya) masih sangat sulit. Pekerja sektor informal ini pun sebagian besar tinggal di daerah yang sulit dijangkaui petugas,” kata Triyono.
Dede Yusuf mengatakan, DPR sedang membahas Undang-Undang Ketenagakerjaan Informal, di dalamnya menyangkut pekerja rumahan, pembantu rumah tangga, dan sejenisnya. Masukan ini menjadi perhatian Komisi IX bersama pemerintah.
Ia mengimbau pemerintah pusat dan pemerintah daerah agar di pasar-pasar tradisional, seperti Pasar Beringhardjo, toilet atau WC Umum tidak diberlakukan pungutan bagi pengguna terutama pedagang setempat. Jika setiap hari pipis enam kali, buang air besar satu kali, mandi satu kali, seorang pedagang sudah mengeluarkan biaya bisa sampai Rp 50.000 per hari hanya untuk urusan toilet.
”Masukan dari para buruh ini tidak hanya untuk Yogyakarta, tetapi juga untuk semua toilet di semua pasar tradisional di daerah lain. Para pedagang kecil yang kesehariannnya di pasar itu harus mendapatkan keringanan,” tuturnya.
Ending mengatakan, pemerintah dan Komisi IX DPR sedang menyusun UU Ketenagakerjaan sektor informal. UU ini bakal mengakomodasi semua persoalan terkait tenaga kerja informasi, termasuk aspirasi yang disampaikan para serikat pekerja rumahan dan buruh gendong.
Andung Prihadi mengatakan, masalah pekerja informal, seperti pekerja rumahan dan buruh gendong, tidak bisa ditangani Pemda DIY. Kehadiran Komisi IX DPR dan perwakilan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam pertemuan itu bisa memberi harapan baru bagi para pekerja informal, tidak hanya di DIY dan Jawa Tengah, tetapi juga di seluruh daerah.