Pasar kopi yang kian menggeliat membuat PTPN IX Jawa Tengah mengelola komoditas itu menjadi lebih baik. Usaha ditangani mulai hulu hingga hilir. Ini juga jadi daya tarik wisata.
UNGARAN, KOMPAS Produksi kopi yang dikelola PT Perkebunan Nusantara IX Jawa Tengah pada musim tanam 2018 meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kondisi itu menguntungkan di tengah kenaikan harga pasar. Meski perdagangan lokal mulai disasar, ekspor masih jadi pilihan utama.
Manajer Kebun Getas PTPN IX Budiono, Selasa (4/12/2018), mengatakan, produksi empat perkebunan kopi robusta milik PTPN sebesar 418.214 ton.
Tahun lalu, volume produksi 389.000 ton. Kopi tersebut berasal dari kebun Getas (Kabupaten Semarang), Ngobo (Ungaran), Sukamangli (Kabupaten Kendal), dan Jolong (Kabupaten Pati) dengan total luas 3.500 hektar.
Peningkatan panen dibarengi dengan kenaikan harga kopi di pasar dalam negeri. Harga kopi biji kering kualitas medium berkisar Rp 38.000-Rp 40.000 per kg. Harga pasaran kopi ekspor lebih tinggi, yakni di atas Rp 88.000 per kg.
”Program PTPN IX tetap menjaga kualitas hasil kopi yang bagus. Upaya ini juga untuk meningkatkan kualitas kopi pasaran lokal guna memperkuat unit produk hilir yang semakin diminati masyarakat seiring ramainya kunjungan ke kedai, kafe, dan resto milik Banaran Coffee,” ujar Budiono.
Dari jumlah panen kopi itu, panen terbesar dihasilkan dari kebun Getas, Bawen, Kabupaten Semarang. Dari kebun Getas saja, volume produksi tahun ini mencapai 251.000 ton, sementara tiga kebun lainnya rata-rata panen sekitar 50.000 ton.
Saryanto, Asisten Teknik Pabrik Kopi Banaran PTPN IX, di Gemawang, Jambu, menjelaskan, hampir 90 persen biji kopi hasil panen telah diproses. Kini, pabrik tengah memilih biji untuk kopi kering. Untuk penyortiran dikerahkan 70-80 orang perempuan pekerja yang sebagian adalah karyawan pabrik.
Sebagian lagi kaum perempuan yang tinggal di sekitar pabrik. ”Harus diakui, mencari tenaga sortir biji kopi tidak mudah mengingat kaum perempuan di kampung lebih suka bekerja di pabrik atau swalayan,” ujar Saryanto.
Kopi hasil panen harus segera diolah menjadi biji kopi kering agar bisa disimpan lama. Pemrosesan kopi menggunakan dua sistem, yakni kering dan basah. Untuk proses kering lebih dominan dilakukan petani kopi dari rakyat.
Adapun pabrik lebih memilih proses basah, yaitu biji kopi direndam air terlebih dulu, lalu digiling untuk memisahkan kulit dengan biji. Pengolahan 418.214 ton kopi ditargetkan selesai sebelum akhir Desember ini.
Menurut Saryanto, para penyortir mesti membagi kopi dalam empat standar kualitas. Ada empat standar, yaitu mutu 1, mutu 2, mutu 3, dan mutu lokal. Mutu 1 hingga 3 diprioritaskan untuk ekspor dan kelas premium.
Adapun mutu lokal untuk mengisi kebutuhan pasar lokal. Kopi kualitas terendah adalah campuran dari biji kopi hitam, hijau, dan coklat.
Sejumlah perempuan pekerja di bagian sortir mengaku senang dapat bekerja di pabrik kopi karena menambah penghasilan berkisar Rp 30.000-Rp 40.000 per hari sesuai hasil. ”Tidak mudah menyortir biji kopi, mengingat kopi yang sudah menjadi biji secara umum terlihat hampir sama kualitasnya.
Tetapi, saya sudah 20 tahun menyortir sehingga bisa membedakan. Kalau tekun, satu orang bisa menyortir biji kopi 25 kg-30 kg sehari,” ujar Mundrikah, pekerja sortir kopi di pabrik kopi Banaran, Gemawang.
Sejak 2017, pengelolaan, penyortiran, dan pengolahan kopi dikemas sebagai paket wisata seiring dibukanya Museum Kopi di kompleks pabrik kopi Banaran PTPN IX. Wisatawan yang datang biasanya berombongan.
Mereka datang dari kalangan mahasiswa, dosen, masyarakat biasa, dan wisatawan dari luar kota. Mereka mengunjungi Museum Kopi berikut pengolahan kopi di pabrik. (WHO)