Suara tangisan serak menggema dari dalam sebuah rumah berdinding papan di kaki Gunung Binaiya, Desa Piliana, Pulau Seram, Maluku, Senin (5/11/2018). Di dalam salah satu bilik rumah itu, Yuliana Latumutuani sedang menenangkan anaknya, Flavianus Ilelapotoa, yang menangis. Tiga anaknya yang lain berlari di sekelilingnya, membuat suasana semakin bising.
Sambil menyusui Flavianus yang terus menangis dan sesekali batuk itu, Yuliana dengan nada tinggi meminta ketiga anaknya yang berlari di dalam ruangan berukuran 2,5 meter x 2,5 meter itu agar tenang. Akan tetapi, namanya juga anak-anak, tingkah mereka malah menjadi-jadi. Ada yang memeluk kaki Yuliana sambil meminta digendong, sementara yang lain melompat di atas tempat tidur.
Yuliana, yang berusia 30 tahun itu, kewalahan mengatasi Flavianus dan tiga kakaknya yang usianya tidak terpaut jauh itu. Flavianus berusia 1 tahun 11 bulan dan kini menderita gizi buruk. Ia anak kelima yang dilahirkan Yuliana dalam rentang waktu kurang dari 10 tahun.
Yuliana lalu memilih keluar dari kamar tidur keluarga itu. Di dalam kamar tanpa daun pintu itu terdapat satu tempat tidur berukuran 1,8 meter x 0,8 meter dengan kasur dan bantal kumal. Pakaian berserakan dan sebagian dibungkus dengan sarung. Bilik itu pengap.
Setiap malam, Yuliana dan suaminya, Naftali Ilelapotoa, beserta semua anak tidur di kamar itu. Yuliana dan Flavianus di atas tempat tidur, sedangkan Naftali dan anak-anak lain tidur di lantai kasar beralaskan tikar seadanya dengan pakaian yang ditumpuk sebagai pengganti bantal. Tidak ada kelambu atau obat nyamuk.
Sementara ruang di sebelah kamar yang dibatasi papan itu dijadikan dapur dengan tungku kayu api di dalamnya. Saat api dihidupkan, asap beterbangan masuk hingga ke kamar tidur melalui celah papan. Asap menyebabkan anak-anak Yuliana sering batuk.
Di dapur ada sagu, ubi, keladi, pisang, dan beberapa genggam beras. Bertebaran pula potongan kemasan bumbu mi instan. Sehari-hari mereka mengonsumsi makanan lokal. Sering kali mi instan sebagai pengganti lauk pauk. Setelah mengenal mi instan, anak-anak mulai ketagihan. Bahkan, kuah mi pun dicampur dengan papeda sagu. ”Mereka sering menangis minta makan mi,” ucap Yuliana.
Padahal, di kampung berpenduduk 696 jiwa itu ada kios yang menjual ikan kering sebagai sumber protein yang dapat dijangkau. Selain bertani, Naftali punya penghasilan tambahan karena sering jadi porter bagi para pendaki Gunung Binaiya. Untuk perjalanan satu minggu, dia bisa mendapatkan paling kurang Rp 1 juta. Uang itu cukup untuk membeli lauk.
Sumber protein lainnya, seperti binatang buruan, kian jarang didapat. Mereka harus masuk hutan berhari-hari, itu pun belum tentu beruntung. Ada juga ternak peliharaan, tetapi kebanyakan dijual atau diberikan kepada tamu. Bagi warga tertentu, uang dari hasil penjualan itu sebagian dipakai untuk membeli mi instan atau biskuit.
Pola makan minim protein semacam ini membuat tumbuh kembang anak tidak sehat. Diserang gizi buruk, tubuh Flavinus seperti tinggal kulit membalut tulang. Yuliana sendiri lupa berat badan anaknya. Dari perkiraan, bobotnya berkisar 4-5 kilogram. Flavianus hingga kini belum bisa duduk. Pertumbuhannya lambat.
Situasi hidup demikian juga ditemukan pada warga lainnya di Piliana, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, itu. Piliana berjarak sekitar 130 kilometer arah timur Masohi, ibu kota kabupaten. Ledi Lamanepa (20) bersama keluarganya, misalnya, lebih memilih tinggal di kebun. Dalam lima tahun terakhir, Ledi sudah melahirkan tiga anak. Lantaran tinggal di kebun, anak-anak tidak mendapatkan imunisasi secara lengkap.
”Masalahnya adalah rendahnya pemahaman warga. Mereka perlu didampingi. Di sini butuh kehadiran tenaga medis,” kata Carlos Titahena, pendeta yang bertugas di Piliana. Carlos juga menemukan kondisi serupa di kampung-kampung di sisi selatan Pulau Seram.
Di Piliana tak ada petugas medis. Jika ada warga yang sakit atau ibu yang kesulitan melahirkan, harus dirujuk ke Masohi. Sejauh ini ada Nola Ilelapotoa (27), lulusan akademi keperawatan yang pulang kampung, mengabdi untuk warga di sana. Ia hanya bisa membantu seadanya dengan obat-obat generik. Dalam sebulan, ia digaji Rp 200.000 dari dana desa.
Kehadiran Nola membawa perubahan pada perilaku hidup warga kendati belum banyak. Anak-anak dibiasakan mandi. Ibu-ibu juga mulai rajin ke posyandu. ”Saya sekolah untuk kembali mengabdi di kampung saya. Bertahun-tahun orang di sini sulit bertemu petugas kesehatan. Kalau bukan saya, siapa lagi,” ujar Nola.
Ia adalah satu dari lima sarjana dari kampung itu. Ia adalah perawat pertama.
Hapsa Salampessy, Kepala Seksi Surveilans dan Imunisasi Dinas Kesehatan Kabupaten Maluku Tengah, mengakui banyak kampung pedalaman jarang didatangi petugas medis. Di Seram Utara, misalnya, enam desa hanya dilayani satu bidan merangkap perawat. Bidan dan perawat lainnya yang ditugaskan di tempat itu menolak karena akses yang sulit. (FRN)