PADANG, KOMPAS – Pengadilan Negeri Pasaman Barat, Sumatera Barat, Jumat (7/12/2018) melaksanakan eksekusi putusan perdata kasus Iwan Mulyadi, korban salah tembak di Kinali, Pasaman Barat. Eksekusi tersebut dinilai kian mempertegas bahwa upaya mendapatkan keadilan seperti yang telah dilakukan Iwan sejak 2006, memerlukan perjuangan yang panjang dan tak kenal lelah.
Wengki Purwanto, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Sumatera Barat (Sumbar) yang juga kuasa hukum Iwan Mulyadi di Padang mengatakan, eksekusi dilakukan dengan penandatanganan berita acara penyerahan dan penerimaan uang ter-eksekusi oleh Wakil Ketua Pengadilan Negeri Pasaman Barat Rahmat Aries dan panitera PN Pasaman Barat Efendi, serta Kepala Bidang Hukum Polda Sumbar Komisaris Besar Polisi Nina Febri Linda.
“Eksekusi ini memang lebih ke administrasi saja. Kalau uang ganti rugi kan sudah diserahkan oleh pihak Kepolisian Daerah Sumbar November lalu,” kata Wengki.
Iwan adalah korban salah salah tembak yang dilakukan salah satu anggota Polsek Kinali pada 2006, yakni Brigadir Satu Nofrizal. Kejadian itu bermula ketika Polsek Kinali mendapat laporan warga terkait perusakan rumah oleh seseorang bernama Iwan. Sayangnya, Nofrizal menyangka Iwan yang dimaksud adalah Iwan Mulyadi.
”Iwan tengah berada di pondok di kebun nilam ketika Nofrizal mendatanginya. Nofrizal datang sambil mengapit Aken, teman Iwan yang berpapasan dengannya saat perjalanan mencari Iwan, dengan satu tangan. Sementara tangan lainnya membawa pistol. Ketika Iwan hendak turun dari pondok, senjata di tangan Nofrizal meletus,” kata Wengki.
Menurut Wengki, akibat tembakan itu, syaraf tulang belakang Iwan putus. Dokter kemudian memvonis Iwan lumpuh permanen dari pinggang ke bawah. ”Kasus penembakan terhadap Iwan diproses secara hukum dan Briptu Nofrizal divonis bersalah dengan pidana penjara 1,5 tahun,” kata Wengki.
Pada 2007, PBHI yang mendampingi Iwan berinisiatif untuk menggugat secara perdata kasus tersebut. Hal itu karena, selain Iwan lumpuh karena penembakan, tanggung jawab pihak kepolisian ke Iwan tidak ada. Sementara Iwan membutuhkan biaya untuk pengobatan sehingga orangtuanya terpaksa menjual ladang.
Kami merasa harus ada yang bertanggung jawab sehingga kami menggugat secara materil dan immateril, yakni Pemerintah Indonesia dalam hal ini Presiden, Kapolri, Kapolda, Kapolres, dan Kapolsek sebagai tergugat satu, serta Briptu Nofrizal sebagai tergugat dua,
”Kami merasa harus ada yang bertanggung jawab sehingga kami menggugat secara materil dan immateril, yakni Pemerintah Indonesia dalam hal ini Presiden, Kapolri, Kapolda, Kapolres, dan Kapolsek sebagai tergugat satu, serta Briptu Nofrizal sebagai tergugat dua,” kata Wengki.
Pengadilan Negeri Pasaman Barat mengabulkan gugatan Iwan. Pengadilan menyatakan Briptu Nofrizal dinilai telah melakukan perbuatan melanggar hukum. Oleh karena itu, tergugat satu dihukum membayar ganti rugi karena perbuatan anggotanya sebesar Rp 300 juta.
Banding
”Pascaputusan itu, tergugat satu mengajukan banding pada 2008, tetapi Pengadilan Tinggi Padang justru menguatkan putusan PN Pasaman Barat. Setelah itu, tergugat satu mengajukan Kasasi pada 2010, tetapi ditolak pada 2011,” kata Wengki.
Menurut Wengki, seharusnya, setelah kasasi ditolak dan ada putusan hukum, tergugat satu membayar ganti rugi. Akan tetapi, pembayaran ganti rugi tetap tidak dilakukan sehingga pengadilan melayangkan tiga kali teguran dari 2013-2015.
”Pada 2015, tergugat justru mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung atas putusan itu. Namun, Mahkamah Agung menolaknya. Sayangnya, meski tidak ada lagi celah untuk tidak melaksanakan putusan, pada 2017 tergugat satu justru menyarankan kami mengajukan permohonan ke Menteri Keuangan. Namun, pihak Kementerian Keuangan justru menyatakan bahwa ganti rugi itu merupakan kewajiban kepolisian,” kata Wengki.
Kementerian Keuangan justru menyatakan bahwa ganti rugi itu merupakan kewajiban kepolisian.
Setelah sederet upaya, akhirnya muncul kabar baik bahwa ganti rugi bisa diberikan melalui dana Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Anggaran 2018. Hanya saja, kemungkinan baru terealisasi pada akhir Desember 2018. Tetapi rupanya Kapolda Sumbar Inspektur Jenderal Fakhrizal meminta penyerahan dipercepat karena telah terlalu lama tertunda.
Mendapat hak
Menurut Wengki, terpenuhinya hak dan keadilan bagi Iwan hingga eksekusi hari ini bisa bermakna banyak. Eksekusi misalnya memperlihatkan bahwa Pemerintah Indonesia dalam hal ini Presiden dan Kepolisian Republik Indonesia akhirnya tunduk dan patuh pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Iwan juga mendapatkan haknya. Itu pun memerlukan empat kali teguran dari pengadilan negeri dan desakan banyak pihak hingga sekitar tujuh tahun.
“Ini artinya mereka juga tunduk dan mematuhi hukum acara perdata, terutama mekanisme eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Meskipun, dalam beberapa kesempatan sebelumnya, kepolisian mencoba melempar tanggung jawab pembayaran ganti rugi ke instansi lainnya, seperti ke kemenkeu,” kata Wengki.
Selain itu, menurut Wengki, eksekusi ini meruntuhkan arogansi dan ego negara sekaligus membuktikan bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan hukum, bukan kekuasaan. “Setiap orang sama kedudukannya dihadapan hukum, dan hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil adalah Hak Asasi Manusia. Meskipun, selama 7 tahun belakangan ini, para tergugat, mencoba mengunakan pendekatan kekuasaaan, untuk tidak memenuhi putusan pengadilan sebagaimana mestinya,” kata Wengki.
Eksekusi ini meruntuhkan arogansi dan ego negara sekaligus membuktikan bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan hukum, bukan kekuasaan
Wengki menambahkan, eksekusi ini juga bermakna bahwa mekanisme hukum perdata adalah salah satu instrumen untuk penegakan dan pemenuhan hak asasi korban pelanggaran HAM. “Jika tindakan negara merugikan kepentingan hukum dan atau melanggar hak asasi warga negara, maka pelaku dan instansinya dapat dimintai pertanggungjawaban melalui mekanisme hukum Perdata,” kata Wengki.
Di samping itu, kata Wengki, proses eksekusi ini bermakna hukum acara perdata tidak sepenuhnya mampu menjawab dan menyelesaikan persoalan keperdataan, terutama sengketa warga negara melawan negara. “Masih diperlukan mekanisme di luar hukum acara perdata, untuk memaksa dan memastikan negara tunduk dan mematuhi hukum acara tersebut, seperti peran Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Ombudsman, media, dan publik,” kata Wengki.
Selain itu, menurut Wengki, dari proses panjang kasus Iwan, dia melihat bahwa tingkat kepatuhan negara dalam hal ini kepolisian, juga dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusia (SDM) pejabatnya. “Proses eksekusi ini juga dapat menjadi rujukan, untuk pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Termasuk dalam kasus-kasus lain di Indonesia, yang amar putusannya, memerintahkan atau menghukum negara untuk membayar ganti rugi sejumlah uang,” ujar Wengki.
Sebelumnya, Kapolda Sumbar Irjen Fakhrizal menyampaikan permohonan maaf karena terlalu lama memberikan ganti rugi.