Demo di Palangkaraya Tuntut Kesejahteraan Buruh Sawit
Oleh
Dionisius Reynaldo Triwibowo
·2 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Mahasiswa dan pegiat lingkungan di Palangkaraya menggelar aksi memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, Senin (10/12/2018) dengan tuntutan di antaranya soal kesejahteraan buruh di ladang sawit. Kehidupan buruh sawit yang sering kali dibayar tak sesuai dengan upah minium dan bekerja di luar batas kemampuan, dianggap sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Puluhan mahasiswa dan pegiat lingkungan tersebut menamakan diri sebagai Front Perjuangan Rakyat (FPR). Aksi dilakukan di Bundaran Besar Palangkaraya, Kalteng pada pukul 11.00 wib hingga pukul 14.00 wib.
“Banyak pelanggaran HAM terjadi terhadap kehidupan buruh-buruh sawit, mereka tidak digaji sesuai dengan upah minimum dan harus bekerja yang terkadang diluar dari kemampuannya, khususnya buruh perempuan,” ungkap salah satu pendemo Kartika.
Selain Kartika, Novia Adventy Juran yang juga Ketua Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) mengungkapkan, kebijakan pemerintah saat ini masih belum menjawab persoalan masyarakat khususnya buruh. Buruh belum mendapatkan perhatian lebih.
“Banyak tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah pun aparat juga korporasi. Maka dari itu kami meminta implementasi kebijakan harus mengindahkan hak-hak masyarakat, baik masyarakat adat, buruh, perempuan, juga mahasiswa,” ungkap Novia.
Sekretaris Serikat Pekerja Sawit Indonesia (Sepasi) Dianto Arifin mengungkapkan, selama ini buruh di Kalimantan Tengah masih belum sejahtera. Masih banyak buruh yang belum terdaftar di BPJS ketenagakerjaan maupun kesehatan.
“Kesehatan jadi faktor utama. Banyak buruh kehilangan penghasilannya karena harus membayar mahal kesehatan, apalagi pekerjaan kami membutuhkan tenaga ekstra,” ungkap Dianto.
Dianto menjelaskan, Sepasi di Kalteng memiliki anggota mencapai 451 orang dengan rincian 300 laki-laki dan 151 perempuan. Dari jumlah itu, hanya 126 yang sudah terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan dan kesehatan.
“Kami sendiri yang daftarkan mereka. sisanya belum didaftarkan karena mereka masih tenaga harian lepas sehingga perusahaan tidak mau mendaftarkan mereka,” ungkap Dianto.
Dianto berharap, pemerintah lebih memperhatikan buruh-buruh sawit di Kalimantan Tengah. Menurutnya, selama ini kondisi buruh di Kalteng luput dari perhatian pemerintah.
“Kami masih menemukan buruh yang masih bekerja di saat hamil hanya karena khawatir kehilangan upah atau sekedar jatah beras,” ungkap Dianto.