JAMBI, KOMPAS - Pengelolaan lahan gambut belum tuntas. Setiap tahun lahan gambut selalu terbakar dan sulit dipadamkan. Perda tata kelola gambut akan dibuat di Jambi. Namun, aturan ini perlu persiapan matang.
Menyusul aturan larangan membakar lahan, DPRD Provinsi Jambi menginisiasi lagi perlindungan lahan lewat Peraturan Daerah Tata Kelola Gambut. Melalui aturan ini, tak diizinkan membuka areal gambut baru, membakar, ataupun membuka kanal yang berpotensi mengeringkan gambut.
Popriyanto dari Tim Penyusun Raperda Tata Kelola Gambut DPRD Provinsi Jambi mengatakan, aturan yang terangkum dalam 34 pasal itu bertujuan menjaga keseimbangan dan kelestarian ekosistem gambut. Tujuannya dapat mendongkrak kesejahteraan masyarakat. ”Aturan ini juga sebagai bentuk kepastian hukum dan membangun kesadaran para pihak mencegah kerusakan ekosistem gambut,” katanya, Minggu (9/12/2018).
Ketua Jaringan Masyarakat Gambut Provinsi Jambi Budiman mengingatkan, sebelum berbagai aturan dikeluarkan, pemerintah terlebih dahulu mempersiapkan masyarakat sampai benar-benar mampu menerapkan praktik tata kelola gambut yang baik. ”Bukan berarti masyarakat menolak aturan, sejak awal perlu didampingi sampai benar-benar siap,” katanya.
Ia berkaca pada larangan membakar lahan yang diatur Perda Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Jambi. Perda itu menuai persoalan. Banyak petani yang belum mampu menerapkan praktik membuka lahan tanpa bakar ketakutan bakal ditangkap aparat. Warga akhirnya tak membuka lahan.
Di Kabupaten Muaro Jambi dan Tanjung Jabung Timur, misalnya sekitar 5.000 hektar areal pertanian terbengkalai karena petani tak boleh membakar lahan.
Padahal, kata Budiman, jika masyarakat dipersiapkan dan didampingi untuk mengelola lahan tanpa bakar, tentu akan mampu beradaptasi dengan aturan baru. Selain itu, pemerintah juga diminta membantu mesin dan peralatan pendukung bagi petani, misalnya mesin pencacah rumput dan mesin pengolah rumput menjadi pupuk organik.
Manajemen bahan bakar
Di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Acep Akbar dari Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru, Kalimantan Selatan, mengusulkan diterapkan manajemen bahan bakar di lahan gambut guna mengurangi kebakaran hutan dan lahan.
Hal itu dilakukan dengan menurunkan tinggi gulma dan ilalang, mengurangi muatannya, melokalisasi, dan memblokirnya. Gulma dan ilalang jadi bahan bakar pertama yang terbakar karena berada di permukaan.
Hal itu diungkapkan Acep saat menghadiri camp peat, kegiatan yang dilakukan Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng yang diikuti 26 pemuda. Mereka belajar mengenal tanah dan hutan gambut.
”Manajemen bahan bakar itu sederhananya adalah membersihkan ilalang di tanah gambut dan serasah atau dahan-dahan dari pohon-pohon itu. Selama itu tidak ada, kebakaran bisa diminimalisasi,” kata Acep.
Selama ini banyak program menanam pohon, tetapi tanpa ada perawatan lanjutan. Padahal, menanam pohon sama dengan merawat pohon dan lingkungan di sekitar pohon tersebut. Gulma yang tumbuh mengikuti tanaman pokok harus dipangkas.
Pemangkasan dilakukan setiap tiga bulan sekali sehingga saat puncak kemarau pada bulan Agustus-September gulma masih dalam keadaan pendek atau bahkan nihil.
”Penyiangan juga bisa menggunakan kontak herbisida agar bahan bakar bisa ditahan pertumbuhannya. Hutan perawan jarang terbakar karena bahan bakar atau gulma dan ilalangnya hampir tidak ada,” ujar Acep.
Berdasarkan data Badan Restorasi Gambut, pada program restorasi di Kalteng tahun 2018, revitalisasi baru 45 persen, penanaman kembali baru 60 persen. Adapun pembasahan 46,44 persen. Pencapaian itu termasuk rendah di Indonesia. (ITA/IDO)