JAMBI, KOMPAS — Guna mendekatkan layanan hukum bagi komunitas adat di pedalaman Bukit Duabelas, Jambi, Kejaksaan Tinggi Jambi membangun layanan Jaksa Masuk Rimba. Diadakan pula mobil pintar keliling yang turut mendorong upaya transformasi bagi anak-anak rimba.
Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Jambi, Yuspar, mengatakan program berjalan sebagai upaya mendekatkan layanan hukum bagi masyarakat. Tahun lalu, telah dibangun layanan Halo Jaksa yang memberi akses layanan hukum bagi masyarakat miskin, serta layanan Jempol Si Abah berupa layanan jemput bola perlindungan hukum bagi anak-anak.
Akhir tahun ini, program berlanjut dengan layanan Jaksa Masuk Rimba. Jaksa berkeliling ke pedalaman dan singgah di komunitas Orang Rimba untuk memberi informasi dan penyuluhan perihal hukum positif. “Kami sampaikan pula bagaimana caranya Orang Rimba dapat mengakses layanan hukum positif,” katanya, di Jambi, Senin (10/12/2018).
Program Jaksa Masuk Rimba digagas pertama kali oleh Kejaksaan Negeri Tebo sebagai layanan informatif yang menyasar masyarakat pedalaman. Belakangan, program itu direspons positif, sehingga Kepala Kejati Jambi meningkatkan mobilitas program tersebut lewat bantuan kendaraan operasional. Petugas pun dapat menjangkau masyarakat yang tinggal lebih jauh lagi di pedalaman.
Menyatu dengan program itu pula, mobil operasional dimanfaatkan sebagai perpustakaan keliling. “Kami siapkan buku-buku bacaan hingga buku informasi hukum,” lanjutnya.
Berburu dan meramu
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi dan Komubitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, populasi Orang Rimba di Jambi mencapai 5.235 jiwa. Dari jumlah tersebut hampir setengah berdiam di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas dengan menjalankan tradisi berburu dan meramu. Selebihnya hidup menyebar di perkebunan sawit, akasia, karet, hingga sekitar kawasan transmigrasi.
Saat ini, masih sebagian besar warga komunitas orang Rimba menerapkan hukum adat untuk menyelesaikan konflik dan masalah. Jika ada warga melanggar aturan, dikenakan denda adat berupa pembayaran kain.
Yang menjadi persoalan adalah ketika konflik terjadi di antara Orang Rimba dan warga desa sekitar. Dalam hal ini, kata Yuspar, hukum positif tetap berlaku.
Masalahnya, masih banyak didapati warga komunitas itu belum mengerti aturan dalam hukum positif. “Untuk itulah kami membangun program ini sebagai ajang pencerahan,” katanya.
Asisten Pidana Umum Kejati Jambi Fajarudin Manurung mengatakan pihaknya turut mendukung upaya tranformasi bagi Orang Rimba. Salah satunya melalui pendidikan dan bantuan buku untuk meningkatkan minat baca. Perpustakaan keliling sejauh ini baru menyasar wilayah Tebo. Adapun, wilayah hidup Orang Rimba tersebar di 5 kabupaten, yakni Batanghari, Sarolangun, Tebo, Merangin, dan Bungo.
Hingga saat ini, berdasarkan data KKI Warsi, sekitar 120 anak rimba mengenyam pendidikan formal. Dari jumlah itu, baru 4 orang yang menamatkan pendidikan setingkat sekolah menengah atas. Sebagian besar baru tamat di tingkat sekolah dasar dan menengah.