SIDOARJO, KOMPAS — Jumlah kepala desa di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, yang meminta pendampingan Kejaksaan Negeri Sidoarjo dalam kerangka pencegahan dan pemberantasan korupsi masih minim. Dalam setahun ini hanya tercatat dua desa dari total 353 desa dan kelurahan.
Padahal potensi terjadinya penyimpangan anggaran di tingkat pemerintah desa cukup besar, baik yang bersumber dari dana desa (DD), alokasi dana desa (ADD), maupun bantuan sosial. Sebagai gambaran, saat ini terdapat 32 desa di Sidoarjo yang diduga terlibat dalam penyimpangan dana bantuan sosial dari Pemerintah Provinsi Jatim.
Kepala Kejaksaan Negeri Sidoarjo Budi Handaka mengatakan, dua desa yang meminta pendampingan adalah Desa Pekarungan di Kecamatan Sukodono dan Desa Wonoayu di Kecamatan Wonoayu. Pendampingan dilakukan oleh Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan (TP4).
”Kejaksaan hanya bisa melakukan pendampingan apabila ada permohonan tertulis dari pihak desa atau institusi pemerintahan,” ujar Budi Handaka di sela acara peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, Senin (10/12/2018).
Kajari Sidoarjo berharap kepala desa dan perangkat desa memanfaatkan program pendampingan yang dilakukan oleh TP4D untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi dan mewujudkan penyelanggaraan pemerintahan yang transparan serta akuntabel. Program pendampingan ini tidak dipungut biaya sehingga tidak akan membebani anggaran desa.
Sebagai gambaran, tahun ini TP4D mendampingi 15 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kabupaten Sidoarjo. Dari 15 SKPD itu, total proyeknya sebanyak 80 pekerjaan dengan nilai Rp 115 miliar. Namun setelah diseleksi, ada 71 proyek yang didampingi oleh TP4D dengan total nilai Rp 112 miliar.
Ada sembilan proyek yang permohonan pendampingannya tidak dikabulkan. Alasannya karena waktu pelaksanaan proyek itu terlalu sempit sehingga apabila memaksakan pekerjaan, tidak akan selesai tepat waktu. Pekerjaan yang tergesa beresiko menghasilkan kualitas yang kurang bagus dan memiliki potensi penyimpangan tinggi.
Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Sidoarjo Adi Harsanto mengatakan, potensi korupsi di tingkat pemerintah desa cukup tinggi. Hal itu disebabkan berbagai faktor, termasuk sumber daya manusia pengelola anggaran. Namun, pihaknya tidak bisa memaksakan aparatur pemerintahan desa untuk meminta pendampingan karena hal itu memerlukan kesadaran.
Terkait pengelolaan anggaran desa, saat ini Kejari Sidoarjo masih menyelidiki lanjutan kasus dugaan penyimpangan dana bantuan sosial yang bersumber dari Pemprov Jatim terhadap 32 desa. Dari 32 desa itu sudah ada lima kepala desa yang divonis bersalah melakukan korupsi dana bansos dan mendapat pidana penjara.
”Desa-desa lainnya masih didalami. Penyelidikan masih berlangsung dengan melakukan pengumpulan data dan keterangan (pulbaket),” ucap Adi Harsanto.
Asisten Tata Pemerintahan dan Kesra Kabupaten Sidoarjo Heri Susanto mengatakan, keengganan SKPD ataupun pemerintahan desa mengikuti program pendampingan TP4P diduga salah satunya disebabkan oleh banyaknya prosedur yang harus diikuti.
Menurut dia, sedikitnya jumlah SKPD ataupun pemdes yang ikut pendampingan menunjukkan tidak ada persoalan serius yang dihadapi. Biasanya yang ikut pendampingan yang khawatir bermasalah.