Nestapa Warga Hulu Kapuas
Kampung-kampung di hulu Sungai Kapuas terisolasi. Akses transportasi hanya lewat sungai yang arusnya deras di musim hujan dan kandas di musim kemarau. Mereka kesulitan mengakses layanan kesehatan dan mendapat produk yang tak ada di kampung.
Kampung-kampung di hulu Sungai Kapuas, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, masih terisolasi. Sungai Kapuas menjadi jalur utama meski berisiko tinggi karena arus yang deras dan berbatu. Pada musim kemarau, warga kesulitan belanja pangan karena perahu kandas.
Perahu kayu berukuran 7 meter x 1 meter bermesin 40 PK siap di Dermaga Nanga Erak, Kecamatan Putussibau Selatan, Rabu (14/11/2018) siang. Perahu itu akan membawa sejumlah pegawai Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu dari Kecamatan Putussibau Selatan menuju Desa Kereho untuk melaksanakan Program Kampung KB.
Penumpang berjumlah 12 orang satu per satu masuk ke perahu. Mereka duduk bersila beralas plastik karena tidak ada kursi. Posisi duduk disusun sedemikian rupa untuk menjaga keseimbangan perahu.
Joni (30), pengemudi perahu, menyalakan mesin. Ia adalah warga Kereho yang datang ke Putussibau Selatan untuk menjemput rombongan Pemkab Kapuas Hulu. Yang hafal kondisi sungai adalah warga di hulu Kapuas seperti Joni.
Siang itu, Sungai Kapuas pasang karena hujan di hulu. Perjalanan ke Kereho melawan arus. Perahu meliuk-liuk melawan derasnya sungai. Air kerap tersembur ke dalam perahu karena membelah gelombang dan pusaran air.
”Di bawah kita ini semua batu. Batu di dasar sungai ada yang sebesar rumah, maka arusnya deras. Perahu harus dari kayu sehingga saat terbentur batu tidak mudah pecah,” ujar Joni sambil mengemudikan perahu.
Oky (32), yang juga warga Kereho, duduk paling depan. Ia penunjuk arah bagi Joni. Jika tangan Oky menunjuk ke arah kanan, Joni segera mengarahkan perahu ke kanan agar tidak menabrak gundukan kayu dan menghindari pusaran air.
Satu jam kemudian, mesin perahu tiba-tiba mogok. Perahu hanyut tak terarah. Penumpang kelimpungan, khawatir perahu menabrak kayu di pinggir sungai. Penumpang ramai-ramai menarik ranting yang menjuntai agar perahu tertahan.
Perahu yang kami tumpangi akhirnya digandeng ke perahu lain yang melintas untuk ditarik ke kampung terdekat, Nanga Balang, untuk mengganti komponen mesin yang rusak. Ternyata komponen yang dibutuhkan tak ada di penjual setempat.
Akhirnya, Joni menggunakan komponen bekas untuk melanjutkan perjalanan. Memasuki Sungai Kereho, anak Sungai Kapuas, mesin kembali mogok di tengah arus deras. Perahu kembali tertahan di pinggir sungai.
Untung ada perahu milik warga Kereho lain, Tehen (54), yang menyusul dari belakang. Semua penumpang dipindah ke perahu Tehen untuk melanjutkan perjalanan. Akhirnya, kami tiba di Kampung Sepan, pusat Desa Kereho, pada sore hari. Total perjalanan sekitar empat jam mengarungi arus deras sepanjang perjalanan.
Di paling hulu masih ada beberapa kampung, tetapi tidak bisa dilintasi hari itu karena ada lokasi yang disebut Riam Bendak, arusnya berkali-kali lipat lebih deras dan sedikit mendaki. Saat air pasang, arusnya lebih cocok untuk arung jeram.
Riam Bendak bisa dilintasi saat ketinggian air berkurang sehingga perahu bisa didorong. Penumpang turun lalu berjalan di antara bebatuan besar. Perlu waktu beberapa hari untuk bisa menembus kampung paling hulu.
Terisolasi
Daerah hulu Kapuas masih terisolasi. Tehen mengatakan, keterisolasian membuat harga barang melonjak. Harga beras kemasan 5 kg Rp 150.000. Padahal, di Putussibau, ibu kota Kapuas Hulu, harga beras kemasan 5 kg hanya Rp 80.000.
”Biaya transportasi tinggi. Biaya bahan bakar pergi-pulang Kereho-Putussibau menghabiskan 60-100 liter bensin. Harga bensin di Kereho Rp 15.000 per liter sehingga total biaya bahan bakar bisa Rp 1.500.000,” ujarnya.
Pokim (51), warga lain, mengatakan, pada musim kemarau, harga beras kemasan 5 kg bisa Rp 160.000. Saat kemarau, transportasi susah. Bahkan, warga kampung paling hulu, yakni Kampung Belatung, pernah kesulitan pangan karena persediaan beras habis. Mereka bertahan dengan makan sagu.
Biaya transportasi yang mahal juga membuat penduduk di daerah itu terpaksa menambang emas. Dengan menjual emas ke kota, mereka masih mendapat keuntungan setelah dipotong biaya transportasi yang tinggi.
”Jika yang dijual ke kota adalah komoditas pertanian, uang hasil penjualannya hanya habis untuk biaya perjalanan. Kami bertani hanya memenuhi konsumsi sehari-hari,” kata Pokim. Warga umumnya menanam sayur, seperti timun, sawi, labu.
Keterisolasian juga membuat mereka sulit mengakses layanan kesehatan di Putussibau. Ayah Pokim meninggal di perahu saat hendak berobat ke Putussibau akibat lamanya perjalanan. Arus deras juga sering menimbulkan kecelakaan.
Upaya pemerintah
Bupati Kapuas Hulu AM Nasir, saat menghadiri rapat koordinasi program lampu tenaga surya hemat energi di Pontianak, awal November, mengakui Kapuas Hulu masih tertinggal. Dari 278 desa, 99 desa desa tertinggal dan 169 desa sangat tertinggal.
Untuk mengatasi isolasi, pemerintah sedang membangun jalan paralel dengan sungai agar terhubung sampai Kalimantan Timur. Jika sudah tahap pengerasan, jalan bisa dilintasi dengan nyaman.
Kondisi infrastruktur di Kalbar secara umum belum memadai. Karena itu, masih ada delapan kabupaten tertinggal. Gubernur Kalbar Sutarmidji mengatakan, dari sekitar 1.000 kilometer jalan provinsi, baru 56 persen dalam kondisi mantap. Kualitas infrastruktur Kalbar urutan ke-33, hanya menang dari Papua.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2019, pemerintah mengalokasikan 25-30 persen dari sekitar Rp 5 triliun total APBD Kalbar untuk pembangunan infrastruktur, sebelumnya hanya sekitar 13 persen. Pembangunan infrastruktur dinilai sangat penting, apalagi dari 2.031 desa di Kalbar, hanya 1 desa mandiri, sisanya banyak desa tertinggal.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura Pontianak Eddy Suratman menilai, selain membuka keterisolasian lewat pembangunan akses jalan, perlu ada kebijakan diversifikasi pangan. Masyarakat jangan hanya bergantung pada beras, tetapi perlu mengubah pola makan dengan mengonsumsi sumber karbohidrat lain. Warga perlu didorong menanam umbi-umbian.
Karena itu, kebijakan pertanian dan pangan di sana jangan hanya memberi bantuan bibit padi, tetapi perlu bantuan bibit umbi-umbian untuk mendorong mereka melakukan diversifikasi pangan. Setidaknya pangan alternatif itu bisa membantu mereka mengatasi kesulitan pangan saat kemarau.
(Emanuel Edi Saputra)