Atasi Tumpang-Tindih Lahan
Tumpang-tindih peruntukan lahan kini tampak jelas dengan adanya Kebijakan Satu Peta. Tumpang-tindih lahan harus segera diselesaikan. Kementerian dan lembaga perlu berkolaborasi dengan mengesampingkan ego sektoral.
Jakarta, Kompas Identifikasi masalah tumpang-tindih peruntukan lahan semakin jelas setelah ada Kebijakan Satu Peta. Saat ini di Kalimantan terdapat 10,4 juta hektar dan di Sumatera terdapat 6,4 juta hektar lahan yang tumpang-tindih penggunaannya.
Wilayah yang tumpang-tindih di Kalimantan mencapai 19 persen dari keseluruhan luas pulau tersebut. Di Sumatera, wilayah yang tumpang-tindih mencakup 13,3 persen dari luas wilayah pulau. Sekitar 70 persen lahan yang tumpang-tindih berupa kawasan hutan.
Akibatnya, kawasan hutan beririsan dengan izin usaha pertambangan (IUP) atau dengan hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit maupun karet. Tumpangtindih peruntukan lahan awalnya disebabkan penggunaan peta yang berbeda-beda antara satu kementerian dan kementerian atau instansi lain.
Kebijakan Satu Peta membuat identifikasi tumpang-tindih perizinan dan fungsi lahan lebih jelas. ”Untuk menyelesaikan wilayah tumpang-tindih tersebut, disusun Buku Pedoman Sinkronisasi Kebijakan Satu Peta yang memuat langkah-langkah penyelesaian yang inklusif.
Namun, lembaga pemerintah perlu berkolaborasi untuk menyelesaikan masalah ini,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution saat peluncuran Kebijakan Satu Peta di Jakarta, Selasa (11/12/2018).
Kebijakan Satu Peta sekaligus geoportalnya yang bisa diakses semua kementerian/lembaga dan pemerintah daerah diluncurkan Presiden Joko Widodo. Pada saat yang sama, Presiden menyerahkan Buku Kemajuan Infrastruktur Nasional kepada Ketua DPR Bambang Soesatyo dan Ketua DPD Oesman Sapta Odang.
Hadir pula Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofjan Djalil, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono.
Dalam sambutannya, Presiden mengapresiasi rampungnya Kebijakan Satu Peta dan 83 peta tematik.
Namun, penyelesaian tumpang-tindih lahan harus segera direalisasikan. Kementerian/lembaga perlu berkolaborasi dan menghilangkan ego sektoral dalam menyelesaikan masalah ini. Kepala daerah juga diharap mempercepat penetapan batas desa-desa yang ada.
Referensi akurat
Kebijakan Satu Peta sesungguhnya menyediakan satu referensi geospasial yang akurat. Awalnya, kebijakan satu peta diminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2011 ketika mendapati perbedaan peta yang digunakan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup.
Pada 2016, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta. Presiden menyatakan, sangat memalukan jika Indonesia tidak memiliki satu peta yang akurat saat ini.
Kebijakan Satu Peta tak kunjung terealisasi diperkirakan akibat terlalu banyak kepentingandan kekhawatiran. ”Kalau saya enggak khawatir, jadi jalan saja,” ujar Joko Widodo.
Saat ini telah diselesaikan 83 dari 85 peta tematik. Dua peta tematik yang belum rampung adalah peta rencana tata ruang nasional serta peta batas administrasi desa dan kelurahan. Peta rencana tata ruang nasional dalam proses penetapan. Adapun peta batas administrasi desa perlu ditindaklanjuti kepala daerah dengan difasilitasi Badan Informasi Geospasial (BIG).
Perencanaan rinci
Selain mengidentifikasi masalah tumpang-tindih peruntukan lahan, Kebijakan Satu Peta sangat bermanfaat untuk perencanaan pembangunan, penyediaan infrastruktur, serta penerbitan izin dan hak atas tanah. Berbagai kebijakan nasional juga akan mengacu pada data spasial yang akurat.
Pembangunan bendungan dan jalur irigasi, misalnya, bisa ditentukan secara rinci sesuai kebutuhan. Bahkan, satu peta ini membuat identifikasi pemilikan konsesi lahan menjadi sangat jelas.
”Misalnya Bu Sri Mulyani memiliki tanah di mana, ketahuan semuanya. Pak Ketua DPR punya konsesi di mana juga ketahuan semua. Kalau punya, ya, Pak, mohon maaf,” kata Presiden disambut gelak tawa hadirin.
Urusan perizinan juga semestinya bisa dikurangi. Sebab, setelah ada peta digital peruntukan lahan, tak sulit lagi untuk menentukan izin lokasi.
Presiden meminta BIG untuk menyusun mekanisme pemutakhiran data yang efektif. Selain itu, diharapkan peta dengan skala lebih besar seperti 1:5.000 atau 1:1.000 segera disiapkan. (INA)