Di antara Pilihan Jadi Sebongkah Batu atau Setangkai Bunga
Menjelang Pemilihan Presiden 2019, Rusydi (21) mengeluhkan grup Whatsapp keluarga yang berisi silang pendapat di antara pendukung kandidat calon presiden. Tidak jarang, mereka memperdebatkan informasi yang belum tentu benar.
Seperti siang itu, Selasa (11/12/2018), salah satu anggota grup melemparkan sebuah berita tentang maraknya tenaga kerja asing asal China di tanah air. Tak jelas sumber berita tersebut. Namun, topik itu dibahas ramai-ramai. Silang pendapat pun berseliweran tak pasti.
”Di Jeneponto (Sulawesi Selatan), ada proyek besar yang dibangun dengan tenaga kerja asal China. Mereka tidak bisa bahasa Indonesia. Saya lihat sendiri dengan mata kepala waktu ke salah satu pasar, padahal dahulu tidak pernah seperti itu. Saatnya rapatkan barisan,” tulis salah satu anggota grup. Dia terang-terangan mendukung salah satu capres.
Rusydi mengatakan cenderung berbeda pandangan politik dengan sejumlah anggota keluarga. Ia pun sulit percaya dengan pemberitaan yang menyangkut siapa pun capresnya, termasuk tenaga kerja asing (TKA).
Polemik terkait TKA sebenarnya sudah mencuat beberapa bulan lalu. Bahkan, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko bersama Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri harus mengumpulkan jurnalis untuk mengklarifikasi isu TKA.
Pemerintah mengungkapkan, jumlah TKA sebanyak 85.000 orang atau kurang dari 0,1 persen jika dibandingkan dengan rasio jumlah penduduk. Moeldoko pun menilai, informasi tentang maraknya TKA itu sengaja disebarkan terkait dinamika politik nasional (Kompas.id, 24/4/2018).
Kenyataannya, perdebatan tentang isu itu masih berlangsung. ”Di salah satu berita, katanya ada 10 juta TKA asal China di Indonesia. Terus, mana yang benar?” kata Nur Jam’an (72), anggota grup yang sama.
Nenek yang telah melewati masa Orde Baru dan reformasi itu malah kebingungan saat berita melimpah ruah berkat kemajuan teknologi dan informasi seperti sekarang.
Kegaduhan dalam grup Whatsapp keluarga itu mungkin belum sebanding dengan ”panasnya” saling klaim kebenaran di dunia maya, media sosial. Apalagi, menjelang Pemilihan Presiden 2019.
Seolah-olah, medsos menjadi ”medan perang” kedua pihak, pendukung pasangan capres nomor urut 01 Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin dan pasangan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Lalu, pendapat siapa yang benar?
Batasan tipis
Pertanyaan tersebut kerap terdengar menjelang Pemilihan Presiden 2019. Inilah era pasca-kebenaran (post-truth). Oleh Oxford Dictionary, istilah itu dinobatkan sebagai word of the year.
Menurut Ralp Keyes dalam bukunya The Post Truth Era (2004), di era pasca-kebenaran, batas antara kebenaran dan kebohongan serta fiksi dan fakta menjadi kabur. Masing-masing merasa benar dengan tafsir terhadap fakta.
Jauh sebelum kita memasuki masa pasca-kebenaran, sebelum abad Masehi, perdebatan tentang kebenaran sudah berlangsung.
Adelbert Snijders dalam bukunya Manusia dan Kebenaran (2006) mengungkapkan, kebenaran mengandung sifat paradoksial, yakni mutlak sekaligus relatif, obyektif tetapi juga subyektif.
Dalam beberapa hal, ada kebenaran yang mutlak (dogmatisme) tapi di sisi lain bergantung pada subyektivitas setiap orang. ”Yang benar untuk Anda belum tentu benar bagi saya. Yang baik bagi saya bisa saja jahat untuk Anda. Karena itu, kebenaran selalu berada dalam pertentangan, the edge of contradiction.” tulis Snijders.
Tidak mengherankan, akan selalu ada perbedaan pendapat antarindividu, bahkan kelompok. Sayangnya, dalam politik subyektivitas ini ”dipermainkan”.
Filsuf Yunani, Sokrates, mengungkapkan, dalam politik tidak berlaku lagi ”benar” atau ”tidak benar”. Seorang politikus hanya membutuhkan retorika atau teknik meyakinkan agar orang lain percaya.
Tengoklah perdebatan antara tim sukses dan pendukung kedua kandidat capres yang berputar di situ-situ saja. Seperti kenaikan harga bahan pokok, jumlah orang miskin, jumlah TKA, dan isu PKI serta asing. Masing-masing punya retorika lengkap dengan data yang telah diinterpretasikan. Sementara program kerja para kandidat nyaris tak terdengar.
Profesor Gordon Graham dari Universitas Aberden dalam bukunya Teori-teori Etika (2014) bahkan menyebut dasar moral subyektivitas mengandalkan perasaan, bukan fakta dan perasaan manusia pada umumnya.
Penilaian kita terpecah menjadi suka (like) atau tidak suka (dislike). Sementara kita menutup telinga dan mata tentang sesuatu yang tidak disukai meskipun itu sesuai fakta.
Kemajuan teknologi dan informasi seperti saat ini malah kepayahan mengerem kondisi tersebut. Kecerdasan buatan pada perusahaan digital, misalnya, mengarahkan pengguna pada apa yang cenderung mereka sukai.
Jika pengguna sering membaca informasi terkait salah satu capres, timeline di media sosial miliknya hanya menampilkan berita tentang hal itu. Orang hanya membaca apa yang diinginkan. Akibatnya, berita bohong pun dipercayai.
H Welgrave sebagaimana dikutip dalam Adelbert Snijders (2006) mengatakan, subyektivitas malah mendorong kita pada kecongkakan, kesombongan. Pandangan kita sempit, bahkan palsu. Sikap ini menjadikan kita sebagai satu-satunya pemilik kebenaran.
Padahal, kebenaran membutuhkan pembuktian. Pernyataan bahwa rakyat semakin susah, misalnya, harus dibuktikan dengan survei atau penelitian. Begitu pun ungkapan harga pangan stabil juga perlu pembuktian dengan survei pasar, termasuk laporan jurnalisme obyektif.
Jangan perpecahan
Pengajar filsafat di Universitas Pelita Harapan, F Budi Hardiman, dalam artikelnya berjudul Pentingnya Kebenaran di harian Kompas (30/11/2018) menilai, saat ini para politikus telah memengaruhi pemilih tidak dengan argumentasi rasional, tetapi mengaduk-aduk emosional pemilih, dengan isu SARA, misalnya. Hal ini dapat merusak demokrasi.
Kondisi ini semakin buruk dengan ”tumpulnya” sikap kritis kita. Informasi diterima begitu saja tanpa verifikasi. Snijders menyebutnya sebagai kesesatan, yakni pelanggaran yang dilakukan subyek dengan melalaikan fakta. Subyek terburu-buru dalam mengambil keputusan meski hal itu bertentangan dengan logika.
Contohnya, hoaks merajalela di media sosial. Berita yang belum tentu benar mudah tersebar dan mendapatkan kepercayaan. Kalau perlu, yang bertentangan dihujat. Siapa saja bisa terlibat, dari warga biasa, dosen, aktivis, hingga anggota legislatif. Jempol pun lebih cepat dibandingkan pikiran.
Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat, selama 2017 terjadi peningkatan hingga 900 persen jumlah pengaduan masyarakat terkait konten negatif, seperti hoaks dan ujaran kebencian, dibandingkan tahun sebelumnya. Gejala ini masih marak menjelang Pemilu Presiden 2019. Dunia maya menjadi hantu yang menyeramkan. Tak terlihat, tapi nyata berbahaya.
Benar ungkapan filsuf Jerman, Martin Heidegger, ”Teknologi yang diciptakan manusia untuk menguasai dunia kini mulai menguasai manusia sendiri”. Akibat tulisan atau status di media sosial, seseorang bisa bertengkar meskipun sesama keluarga.
Menjelang pilpres empat bulan lagi, para politikus seharusnya tidak mengandalkan retorika untuk membujuk pemilih, apalagi bertumpu pada berita bohong. Hal itu hanya akan menimbulkan perpecahan. Sebaliknya, kedua kandidat beserta pendukungnya wajib memaparkan jurus jitu atau program kerjanya untuk mengatasi berbagai persoalan yang membelenggu masyarakat.
Di sisi lain, kita sepatutnya tidak jatuh pada subyektivitas belaka. Menurut Snijders, kita sebaiknya mengedepankan dialog, tidak menutup diri hanya pada satu pendapat. Ingat, sebongkah batu yang begitu tertutup tidak tahu dunia luar. Sementara setangkai bunga yang membuka diri dan tersentuh matahari malah tumbuh dengan keindahannya.