MALANG, KOMPAS — Pemerintah desa dan masyarakat desa diajak memahami celah rawan korupsi pemanfaatan dana desa. Pemahaman seperti itu diharapkan akan menjadikan masyarakat semakin cerdas dalam menggunakan anggaran yang diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat desa tersebut.
Ajakan memahami celah rawan korupsi dana desa tersebut menjadi benang merah dalam kegiatan Sinau Desa bertema ”Pengelolaan Dana Desa dengan Baik”, Jumat (14/12/2018) malam di Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Acara berlangsung sejak pukul 19.00 WIB hingga pukul 00.00 WIB.
Sinau Desa adalah forum belajar tentang desa yang digagas pegiat Desa Pandanlandung, pemuda desa, jurnalis, dan melibatkan akademisi dalam setiap kegiatan. Peserta Sinau Desa adalah perangkat desa, pendamping desa, pengurus lembaga kemasyarakatan desa (LKD), akademisi, dan masyarakat umum. Kegiatan didanai secara swadaya oleh penyelenggara.
Hadir sebagai narasumber dalam diskusi rutin kali itu adalah tim satuan tugas dana desa Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Budi Harsoyo dan Fathurrohman. Kehadiran perwakilan tim satgas dana desa tersebut di sela-sela kegiatan mereka melakukan pemantauan penggunaan dana desa di dua desa di Kabupaten Malang, yaitu Desa Sumbermanjing Wetan dan Desa Pandanlandung.
Budi Harsoyo menekankan bahwa niat baik dalam menggunakan dana desa harus didukung cara yang baik juga. ”Niat baik kalau caranya salah akan menjadi salah. Jadi, apa pun harus sesuai aturan. Kalau belum ada aturan yang menjelaskannya, silakan dirembuk bersama-sama dalam musyawarah desa untuk membuat aturan yang akan dijadikan dasar hukum langkah yang diambil pemerintah desa,” katanya.
Budi menekankan, pemahaman akan celah rawan korupsi tersebut harus dipahami bukan saja oleh pemerintah desa, melainkan juga oleh masyarakat desa secara luas. Sebab, pengawasan penggunaan dana desa tidak hanya menjadi tanggung jawab satgas dana desa, inspektorat pemerintah kabupaten, dinas pemberdayaan masyarakat desa, kepolisian, tetapi juga diawasi masyarakat luas.
”Harus dipahami bahwa desa sekarang menjadi seperti orang cantik sehingga banyak yang mengamati. Oleh karena itu, langkah yang diambil harus benar,” katanya.
Banyaknya pengawasan terhadap penggunaan dana desa, menurut anggota satgas dana desa lainnya, Fathurrohman, menghasilkan laporan pengaduan masyarakat hingga November 2018 mencapai 25.000 laporan dari seluruh Indonesia. ”Dari jumlah itu, 9.000 laporan terkait dengan ekses politik pilkades. Sebanyak 5.000 laporan terkait ekses ketidakharmonisan hubungan antara Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan kepala desa,” katanya.
Fathurrohman menunjukkan beberapa contoh celah rawan korupsi penggunaan dana desa yang selama ini ditemuinya selama melakukan pengawasan di seluruh Indonesia.
Beberapa celah itu misalnya adanya program kegiatan titipan dari supradesa (kecamatan, kabupaten). Kegiatan-kegiatan titipan tersebut berusaha mengintervensi pemerintah desa untuk memunculkan kegiatan titipan agar didanai dana desa. Itu merupakan korupsi program (bukan korupsi uang). Sebab, selama ini penetapan rencana kerja pemerintahan desa (RKPDes) sudah melalui penjaringan usulan kegiatan mulai dan musyawarah dusun, pramusdes, musdes.
Model korupsi seperti itu, menurut Fathurrohman, akan dengan mudah dimasuki jika pemerintah desa tidak memiliki dokumen berita acara musyawarah dusun, pramusdes, musdes, dan seterusnya. Oleh karena itu, dokumentasi atau berita acara setiap kegiatan disarankan harus selalu ada. Dokumen itu nantinya bisa dijadikan alat untuk menolak intervensi keinginan supradesa ataupun untuk menjelaskan kepada masyarakat jika ada protes.
”Dokumentasi itu perlu. Kelemahan kita di dokumentasi administrasi. Ketika RKPDes ada yang memprotes, dokumen itu bisa untuk menjelaskannya,” kata Fathurrohman.
Celah rawan korupsi lainnya ada selama penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), lalu diturunkan menjadi rencana kerja pemerintah desa (RKPDes), lalu diturunkan lagi menjadi APBDes, dan diterjemahkan berikutnya menjadi rencana anggaran belanja (RAB) per kegiatan. Seluruh rencana itu harus dibuat berdasarkan kondisi di lapangan setempat, misal nominal harga semen di Malang dan di pelosok Maluku Utara jelas berbeda. Kesalahan penganggaran dalam pembuatan itu bisa memunculkan korupsi.
”Untuk kegiatan fisik, gambar yang mau dibangun atau detail engineering design (DED) harus dilampirkan beserta RAB. Untuk membuat RAB bisa minta tolong pendamping teknik infrastruktur. Bukan minta tolong dibuatkan, melainkan minta tolong didampingi membuat RAB dan gambar bangunan. Jangan segan-segan minta tolong. Pendamping desa harus menjadi tempat bertanya. Jadi, pendamping desa juga harus mau bertanya jika mereka tidak paham,” kata Fathurrohman.
Proses pengadaan barang dan jasa juga harus sesuai aturan Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 13 Tahun 2013 tentang Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang dan Jasa di Desa, misalnya kalau untuk pengadaan barang dan jasa di bawah Rp 50 juta bisa dengan penunjukan. Namun, kalau Rp 50 juta-Rp 200 juta harus ada 2 penyedia barang yang disurati. Berikutnya, untuk melindungi kades dari jeratan hukum, harus dibuat surat perjanjian dulu. Harus ada surat perjanjian kerja sama antartim pelaksana kegiatan (TPK) dengan penyedia barang.
Dalam laporan pertanggungjawaban, kuitansi harus bermaterai. Jangan ada nota dicoret, dan jangan main-main dengan tanda tangan honor upah pekerja.
Selain itu, biasakan membuat laporan per kegiatan. Jangan seluruh 30 kegiatan dijadikan satu sehingga administrasi menjadi campur dan kacau. Hal ini bisa menjadi salah satu modus untuk mengaburkan ketidakjelasan LPJ.
Cara lain mencegah korupsi dana desa adalah dengan menulis sarat administrasi kegiatan yang harus jelas, misalnya untuk pendirian BUMDes, maka harus ada beberapa syarat, yaitu administrasi BUMdes yang dibutuhkan, Perdes BUMDes, SK Pengurus BUMDes, AD/ART BUMDes, rekening BUMDes atas nama BUMDes, NPWP atas nama BUMDes, dan yang paling pokok adalah adanya rencana bisnis BUMDes.
Inti dari semua pelajaran dalam Sinau Desa malam itu adalah pemerintah desa harus berhati-hati dalam mengelola dana desa. ”Jadi, tolong jangan main-main dengan dana desa. Ini dana masyarakat. Bukan milik kades atau perangkat desa,” kata Fathurrohman.
Dalam kesempatan itu, perangkat Desa Ampeldento Kecamatan Karangploso Unnul bertanya soal penganggaran untuk meterai. Selama ini ia menilai anggaran untuk pembangunan fisik harus habis dalam bentuk bangunan. ”Padahal, kebutuhan meterai untuk laporan sangat banyak. Setiap kuitansi harus ada meterainya. Jadi, apa bisa dianggarkan meterai dalam menyusun RAB kegiatan sebuah pembangunan fisik?” tanyanya.
Satgas pun menjelaskan bahwa selama ini masyarakat cenderung menyusun RAB hanya fokus pada bangunan fisiknya. Padahal, kebutuhan ATK seperti meterai, juga bisa dimasukkan dalam perencanaan penyusunan RAB sehingga pengeluaran untuk meterai tetap akan mendapat anggaran, dan tidak dibiayai sendiri oleh uang masyarakat.