MANADO, KOMPAS - Bitung menjadi salah satu sentra perikanan Nusantara. Namun, mengapa sebagian besar pabrik pengolahan ikan ditutup? Benarkah telah terjadi krisis bahan baku yang serius?
Empat dari tujuh pabrik pengolahan ikan di Bitung, Sulawesi Utara, terhenti beroperasi selama empat tahun terakhir. Kondisi itu dipicu krisis bahan baku. Dampaknya menimbulkan masalah serius bagi kota itu, yakni pengangguran mencapai 12 persen dari sekitar 200.000 penduduknya.
Wali Kota Bitung Max Lomban di Manado, Sabtu (15/12/2018), mengatakan, penutupan pabrik pengolahan ikan berdampak buruk bagi ekonomi Bitung dan Sulawesi Utara. ”Kami tidak dapat mencegah pabrik menutup usahanya. Sejak tahun 2016, operasional tujuh pabrik sudah megap-megap akibat ketiadaan bahan baku,” katanya.
Krisis terjadi sejak akhir 2014 setelah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti melarang alih muat ikan di laut dari kapal penangkap ke kapal penampung. Praktik ini dinilai menjadi modus penangkapan ikan ilegal.
Padahal, tahun 2013 hingga November 2014 sebelum penerapan kebijakan perikanan, produksi hasil perikanan Bitung mencapai 52 persen dari kapasitas terpasang, yakni sekitar 700 ton per hari.
Dengan kapasitas terpasang itu, perputaran uang dari sektor perikanan mencapai Rp 2,5 triliun per tahun. Asumsinya, 700.000 kilogram x Rp 10.000 harga ikan mencapai Rp 7 miliar per hari.
Artinya, sebulan uang dari hasil perikanan mencapai Rp 2,5 triliun per tahun. ” Uang itu kini hilang membuat ekonomi Bitung terganggu diikuti pengangguran,” katanya.
Tingginya angka pengangguran itu berdampak kehidupan sosial masyarakat yang mudah tersinggung memicu naiknya angka kriminalitas. Pemerintah Kota Bitung menempuh cara membantu mobilitas pihak kepolisian setempat dengan melakukan ronda setiap hari.
Bantuan berupa mobil dan sepeda motor kepada aparat sebagai upaya menekan kriminalitas. ”Setiap hari aparat dan pejabat pemkot bersosialisasi mengenai lapangan pekerjaan yang terbuka,” katanya.
Pabrik pengolahan ikan yang terakhir tutup adalah PT Delta Pasifik Indotuna yang mempekerjakan 3.000 karyawan. Penutupan pabrik itu sempat diwarnai demo berkepanjangan dari karyawan menuntut pesangon.
Manajer PT Delta Ilyasa Bahalwan mengatakan, penutupan operasional disebabkan minimnya bahan baku diperoleh setiap hari. Selama empat tahun pabrik ikan itu dalam kondisi krisis bahan baku.
Tahun 2015, PT Delta terpaksa mengimpor ikan dari India sebanyak 56 ton dan Korea Selatan 100 ton. Impor ikan itu ironi dengan keberadaan bahan baku di Laut Bitung yang melimpah.
Ketua Unit Pengolahan Ikan Kota Bitung Basmi Said mengatakan, impor ikan dari Korsel dan India dilakukan PT Delta untuk menutup operasional pabrik selama sepekan. Jumlah karyawan PT Delta berkurang dari 1.300 orang tahun 2014 jadi 500 orang pada awal 2016 hingga akhirnya ditutup pada Agustus lalu.
Menurut Basmi, produksi PT Delta tahun 2014 mencapai 80 ton per hari. Dengan produksi 80 ton per hari, diperoleh 50 kontainer ikan kaleng ekspor setiap bulan ke Timur Tengah. Harga ekspor ikan kaleng setiap kontainer Rp 700 juta atau sekitar Rp 385 miliar setahun. Volume ekspor terus menurun dan tersisa 15 ton hingga 20 ton pada tahun 2018. (zal)