Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Muncul di Pengungsian
Oleh
Videlis Jemali
·3 menit baca
PALU, KOMPAS — Kekerasan berbasis jender terjadi di tenda-tenda pengungsian penyintas bencana di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Proses hukum pun dilakukan terhadap terduga pelaku. Namun, kejahatan tersebut perlu diantisipasi di hunian sementara yang mulai hari ini ditempati penyintas.
Penanggung jawab pendampingan perempuan dan anak Lembaga Swadaya Masyarakat Libu Perempuan Sulawesi Tengah Maya Safira mengatakan, pihaknya mencatat ada 25 kasus kekerasan berbasis jender selama pengungsian di Sulteng sejak 28 September lalu. ”Paling menonjol, sebanyak lima kasus adalah kekerasan dalam rumah tangga,” kata Maya di Palu, Senin (17/12/2018).
Selain kekerasan dalam rumah tangga, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak lainnya ialah pelecehan seksual dan percobaan perdagangan anak (human trafficking). Khusus percobaan perdagangan anak, modus yang dilakukan adalah mengajak korban ke suatu tenda untuk diberikan bantuan.
Maya menuturkan, kasus-kasus tersebut terjadi di tenda-tenda pengungsian di tempat terbuka atau tanah lapang. Hal itu terjadi di banyak lokasi, antara lain Kelurahan Pantoloan Owa, Balaroa, dan Petobo di Kota Palu; Desa Wombo di Kabupaten Donggala; serta Desa Sibalaya Selatan di Sigi.
”Kami menduga terjadinya kasus-kasus tersebut karena penyintas stres di tenda pengungsian, terutama dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga,” kata Maya.
Libu Perempuan bersama mitra melaporkan kasus-kasus tersebut kepada penegak hukum. Tanpa menyebut jumlah dan detail kasus, Maya memastikan ada sejumlah kasus yang telah diproses di kepolisian.
Ia menyebutkan, pihaknya juga mendampingi korban untuk pemulihan psikologis. Guna mengantisipasi kejadian serupa, Libu Perempuan memberikan edukasi dan mengadvokasi kebijakan terkait penanganan pengungsi, terutama untuk golongan rentan, yakni perempuan dan anak.
Bangun koordinasi
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Seto Mulyadi beberapa waktu lalu mengingatkan sejumlah pihak untuk mewaspadai terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Penyintas di pengungsian perlu membangun koordinasi untuk mencegah terjadi kekerasan.
Saat ini, penyintas di Sulteng memasuki tahap baru penanganan pascabencana, yakni mulai menempati hunian sementara (huntara). Huntara itu akan ditempati selama sekitar 1,5 tahun sambil menunggu pembangunan hunian tetap.
Untuk mencegah kekerasan berbasis jender terjadi di huntara, Kepala Harian Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Sulteng Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Arie Setiadi Moerwanto mengatakan, ada ruang terbuka di huntara untuk melepaskan kepenatan.
Selain itu, model huntara yang terpadu dengan fasilitas umum, seperti air bersih dan sekolah, juga membantu perempuan dan anak-anak selalu dalam jangkauan keluarga.
”Ada usulan agar dibentuk semacam manajer di setiap kompleks huntara. Kami pikir itu usulan yang baik. Dia bertanggung jawab atas apa pun yang terjadi di kompleks itu, termasuk untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak,” ujarnya.