CILACAP, KOMPAS - Badan Pengawas Obat dan Makanan meningkatkan pengawasan mutu produksi jamu tradisional. Edukasi dan pembinaan produsen dan masyarakat digencarkan untuk mencegah penggunaan bahan kimia obat agar aman bagi konsumen.
”Jamu penggerak ekonomi dan kita harus mengembalikan sebagai warisan budaya,” kata Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Mayagustina Andarini di Cilacap, Jawa Tengah, Minggu (16/12/2018).
BPOM menggelar Komunikasi, Informasi, Edukasi Gerakan Desa Obat Tradisional Aman di Cilacap bagi 500 orang dan produsen jamu di wilayah Kabupaten Cilacap, Banyumas, serta Purbalingga. ”Kami akan membina dan mendampingi pelaku usaha jamu ini agar bisa memproduksi jamu dengan aman dan diterima masyarakat,” katanya.
Cilacap dikenal penghasil jamu. Beberapa di antaranya bermasalah dalam produksi dan izin. Ketua Umum Perkumpulan Pelaku Jamu Alami Indonesia Mukit Hendrayatno mengatakan, dari sekitar 200 produsen jamu di Cilacap, Banyumas, dan Purbalingga masih 50-70 persen yang berproduksi tanpa memperhatikan ketentuan pemerintah.
”Mereka belum mengurus izin pabrik dan izin edarnya. Jadi seperti kalau motor itu tak ada BPKB-nya. Jadi ini akan sulit dibina, sulit dikoordinasi, dan sulit diawasi,” katanya.
Mayagustina menegaskan, jamu tradisional tidak boleh dicampur bahan kimia obat (BKO) karena berbahaya bagi kesehatan. Penggunaan BKO hanya dibolehkan atas izin dan dosis tertentu dari dokter.
Sejumlah BKO yang sering disalahgunakan pada golongan pegal linu, pereda nyeri encok, atau asam urat adalah antalgin, parasetamol, deksametason, dan piroksikam.
Golongan stamina pria contohnya penggunaan sildenafil dan senyawa turunannya. ”Dapat mengakibatkan kerusakan ginjal dan gagal jantung,” ujar Mayagustina.
Masalah yang umum adalah klaim produk jamu yang menyembuhkan penyakit. ”Hanya membantu mengurangi, bukan menyembuhkan,” kata Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Semarang Safriansyah. (DKA)