BATU, KOMPAS Toleransi sedang diuji saat tahun politik dengan isu intoleran yang makin santer. Salah satu cara menumbuhkembangkan toleransi adalah melalui langkah nyata, mulai dari diri sendiri dan kelompok terkecil.
Pesan ini mengemuka dalam acara Tour de Tolerance, sebuah kegiatan mengunjungi tempat ibadah umat beragama oleh Gusdurian Kota Batu dan Sekolah Perempuan Desa di Batu, Jatim, Minggu (16/12/2018). Kegiatan dalam rangka haul ke-9 Gus Dur ini diikuti puluhan orang, terutama ibu dan anak.
Total ada enam tempat ibadah yang mereka kunjungi, mulai dari Wihara atau Padepokan Dhammadipa Arama, Gereja Kristen Indonesia (GKI), Gereja Katolik Gembala Baik, Pura Giri Arjuna, Kelenteng Kwan Im Tong, dan tentunya Masjid An Nur.
”Kita lihat kondisi Indonesia hari ini yang sangat gampang terbakar gara-gara beda keyakinan,” kata Koordinator Gusdurian Kota Batu Harris El Mahdi. Tour de Tolerance sengaja mengajarkan toleransi kepada warga, khususnya anak-anak. Mereka diajarkan tentang apa itu keberagaman. Menurut rencana, ini akan menjadi kegiatan rutin.
Selain intoleran, kata Harris, saat ini saling ”serang” juga terjadi antara dua pendukung calon presiden dan wakil presiden yang berlaga di pemilu. Kondisi ini miris dan memprihatinkan. Mereka tidak lagi mendiskusikan tentang harapan akan masa depan Indonesia, tetapi saling menjelekkan satu sama lain.
”Idealnya mereka adu gagasan, mimpi, dan harapan. Saat ini politik kekuasaan diskusinya tidak lagi untuk mencari harapan, tetapi saling mencaci. Isunya bukan bagaimana figur seorang pemimpin ke depan, tetapi saling menjelekkan. Tak ada isu penting yang dibicarakan,” katanya.
Senada dengan Haris, pendiri Sekolah Perempuan Desa, Salma Safitri Rahayaan, mengatakan, kita tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah untuk menumbuhkembangkan toleransi karena pemerintah punya keterbatasan. Yang perlu dilakukan saat ini adalah langkah nyata, bukan sekadar seremonial.
Wawasan baru
Dengan mengunjungi tempat ibadah agama lain, menurut Salma, kita memiliki wawasan baru dan tidak mudah dihasut.
”Yang dilakukan Sekolah Perempuan Desa saat ini adalah memberi edukasi kepada masyarakat tentang bagaimana memahami perbedaan. Kalau sudah paham, orang tidak akan mudah terhasut.
Itu yang kami lakukan di skup kecil kami, bahwa kami Sekolah Perempuan Desa punya tanggung jawab moral selesaikan problem intoleransi,” katanya.
Menurut Salma, terbukanya sarana komunikasi membuat semua orang bisa bicara apa saja, tanpa memilah dan menyaring. Berpendapat di hadapan khalayak bukan lagi milik pejabat.
Semua orang saat ini punya wajah di media sosial. Jika mereka tidak memiliki pemahaman tentang toleransi, kondisinya berbahaya untuk kesatuan bangsa.
Bhante Uggaseno selaku Biksu Pembimbing Wihara Dhammadipa Arama mengatakan, kerukunan antarumat beragama bagi bangsa Indonesia menjadi hal utama.
”Jaga kebinekaan, kami sebagai umat Buddha berkontribusi menjaga NKRI. Kita bersatu padu dalam keyakinan ini, bergandengan tangan satu sama lain untuk menjaga keutuhan bangsa. Dengan cara tidak mengujar kebencian, tidak percaya dengan hoaks, tidak membuli, dan provokasi,” katanya. (WER)