Menanti Bekal Hidup di Tanah Bencana
Musim hujan masih menjadi mimpi buruk bagi sebagian warga Jawa Barat. Tidak hanya kondisi geografis yang rawan, mereka juga tak punya cukup bekal ilmu pengetahuan untuk menghadapinya.
Ingatan Irman (29), warga Desa Cikuya, Kecamatan Culamega, Kabupaten Tasikmalaya, kembali pada kenangan pada hari Senin (12/11/2018) sore. Saat itu, tubuhnya berlepotan lumpur di atas sepeda motor bututnya.
Susah payah dia memelihara semangatnya di antara guyuran hujan deras. Beberapa kardus mi instan dan minuman kemasan yang basah hampir jatuh jika tidak ditahan kedua pahanya. Lengah bisa bahaya karena ia melintas di pinggir jurang curam.
”Mi itu untuk sesama pengungsi banjir bandang Cikuya. Harus dibawa dengan motor karena jembatan dan akses jalan menuju Cikuya putus diterjang longsor dan banjir bandang,” ujar Irman, Senin (17/12).
Kondisi itu mendorong Irman mengajukan diri jadi sukarelawan dadakan penjemput logistik bersama tiga rekan lainnya. Setiap orang hanya sanggup mengangkut lima kardus mi dan minuman ringan di pangkuan dan satu tenda yang diikat di jok belakang.
”Takut pasti ada. Tetapi, kalau bukan warga, siapa lagi yang mau membawanya. Logistik di pengungsian cepat menipis karena pasokannya tersendat,” kata Irman.
Perjuangan berat Irman sejatinya tak perlu terjadi apabila jauh hari potensi bencana ini bisa dipetakan. Alam sudah beberapa kali mengirim sinyal berbahaya lewat kejadian kecil di Culamega setiap hujan deras. Namun, tetap saja warga minim pendampingan.
Irman dan para penyintas lainnya bisa bernapas sedikit lebih lega. Empat warga Culamega lainnya meninggal dunia saat longsor datang. ”Hanya dengan bertaruh nyawa, kami bisa menyelamatkan nyawa warga lainnya,” kata Irman getir.
Ketukan pintu
Punya potensi gerakan tanah tinggi, warga Desa Puncaksari, Kecamatan Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat, lebih beruntung. Ada Olih (65), Ketua RW 007, Kampung Cihantap, yang rajin keluar rumah menembus hujan deras mengetuk rumah warga satu per satu. Tujuannya, mengingatkan warga tetap waspada.
Dia melakukannya lagi pada Selasa (30/11). Tubuhnya nekat menembus hujan deras yang turun sejak pagi menuju rumah-rumah tetangga. Kepada penghuni rumah, Olih meminta mereka waspada. Hujan turun deras mudah memicu banjir dan longsor.
Di belakang permukiman warga ada tebing setinggi 20 meter yang berpotensi runtuh kapan saja. ”Saya minta rumah yang di belakang tebing tanah segera mengungsi sebelum bencana datang,” ujarnya.
Alam tidak dapat dilawan. Hujan tetap memicu longsor. Ada 48 rumah warga Cihantap rusak sehari setelah Olih mengingatkan warga. Bahkan, rumah Olih pun terkena. Lantai semennya retak, tetapi dinding tripleksnya tetap berdiri tegak. Tak ada korban dalam peristiwa itu. Semua warga yang rumahnya diketuk sudah mengungsi sebelum longsor.
Olih tinggal di Kampung Cihantap sejak 1980. Saat itu gerakan tanah rayapan mulai terjadi. Namun, sebagian besar rumah yang berbentuk panggung dan berkonstruksi kayu tidak mengalami kerusakan signifikan.
Perubahan terjadi tahun 1990-an. Saat rumah panggung diganti berbahan beton. Retak mulai terjadi dan perlahan rusak rawan ambruk. Terlebih ada tebing tinggi di belakang permukiman yang bisa longsor kapan saja.
Belajar dari kejadian gerakan tanah saat ini, Olih menyarankan warganya membangun rumah panggung atau semipermanen di tempat aman. Sembari menunggu kembali pada kearifan lokalnya, Olih setia mengetuk rumah warga setiap hujan deras. ”Setelah longsor terakhir, kesadaran warga mulai tumbuh.
Mereka ingin mencari daerah aman dan membangun rumah panggung,” katanya. Kepala Subbidang Mitigasi Gerakan Tanah Wilayah Timur Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Agus Solihin mengatakan, Kampung Cihantap memiliki potensi gerakan tanah tingkat menengah hingga tinggi.
Secara geologis, kondisi batuan bawah lebih keras, sementara bagian atas terdiri dari batu pasir dan lempung. ”Selama musim hujan, gerakan tanah berpotensi meluas. Rumah yang rusak parah sebaiknya direlokasi. Tidak hanya di Cihantap, tetapi di daerah lainnya,” ujarnya.
Menurut Agus, tinggal di tanah rawan bencana perlu diikuti pemanfaatan lahan yang tepat. Misalnya, menghindari peresapan air secara cepat ke dalam tanah. Sebab, di kawasan itu terdapat sawah dan kolam yang menampung air.
Agus juga menyarankan warga mengeringkan sawah karena genangan air membuat tanah jenuh sehingga rawan longsor. Selain itu, warga diimbau mengatur aliran air agar air tidak masuk ke retakan yang dapat mempercepat terjadi gerakan tanah.
”Perhatikan juga konstruksi bangunan. Jika tetap digunakan untuk permukiman, dianjurkan membangun rumah panggung atau semipermanen,” ujarnya.
Kini, sebulan setelah longsor dan banjir bandang melibas Desa Cikuya, Culamega, dampak fisik bencana mulai dipulihkan. Jembatan darurat sudah terpasang. Namun, hujan masih terjadi, menebar kekhawatiran warga. Sebagian belum berani ke rumah karena khawatir longsor susulan.
Camat Culamega Kasminto mengatakan, kondisi saat ini belum memberi rasa nyaman. Warga perlu dilatih lebih siap menghadapi bencana. ”Kami terbuka apabila ada yang mau beri pendampingan mengenali potensi bencana. Silakan datang dan berikan kami bekal hidup di tanah rawan bencana ini,” katanya. (CHE/RTG/TAM)