Berjudi Menembus Medan-Berastagi
Bak berjudi dengan nasib. Itulah kesan para sopir yang setiap hari melintas di rute Medan-Berastagi, Sumatera Utara. Jalan sejauh sekitar 55 kilometer yang digunakan warga di 11 kabupaten di Sumut dan Aceh itu berkelok tajam, terjal, rawan kecelakaan, longsor, dan macet.
Bobner Tarigan (42), pedagang sayur dari Pasar Roga—pusat perdagangan sayur-mayur dari dataran tinggi Karo ke daerah dataran rendah, seperti Medan, Binjai, Langkat, Deli Serdang, dan Serdang Bedagai—setiap hari perlu menyiapkan mental.
”Melewati jalan Medan-Berastagi bagi kami seperti berjudi. Saya mempertaruhkan 2 ton sayur-mayur senilai Rp 8 juta. Jika ada kemacetan, itu artinya sayur akan layu dan kami hanya bisa gigit jari,” kata Bobner di Pasar Roga, Senin (3/12/2018). Arus kendaraan bisa sewaktu-waktu mengalami kemacetan total karena longsor, kecelakaan, ataupun ada kendaraan mogok.
Sore itu, Bobner bersama kernetnya segera memuat kol, kacang panjang, tomat, dan buncis. Dagangan itu akan diangkut ke Pasar Tavip di Binjai. Ia harus berangkat paling lama pukul 17.00 agar bisa sampai ke pasar yang berjarak sekitar 65 kilometer itu pada pukul 19.00.
Namun, prediksi itu kerap meleset. Bobner sering mendapat pengalaman buruk. ”Hampir setiap minggu selalu saja ada kemacetan di jalan. Hanya karena longsor sedikit saja, perjalanan bisa menjadi delapan jam,” katanya.
Bobner pernah berangkat pukul 17.00 dari Berastagi dan tiba di Binjai keesokan hari pada pukul 08.00. Kendaraan berhenti total di Kecamatan Sibolangit karena ada truk mogok di tengah jalan.
Hampir separuh dari sayur yang dibawa sudah layu. ”Pasar grosir pun sudah tutup pada pagi hari dan hanya ada pedagang eceran. Saya jual sayur itu hanya setengah harga, itu pun tidak bisa laku semuanya,” katanya.
Ferdinan Siburian (45), pedagang sayur lainnya, mengatakan, dalam tiga tahun terakhir, kemacetan sering terjadi. Hampir setiap minggu ada kemacetan panjang. ”Kalau macet hingga empat jam itu hampir terjadi setiap minggu,” katanya.
Ferdinan berangkat dari Medan ke Pasar Roga pukul 12.00. Ia menargetkan tiba di Berastagi paling lama pukul 15.00 agar kebagian sayur. Namun, karena macet, sering kali ia tiba pukul 18.00. Kalau sudah begitu, ia tidak dapat sayur lagi.
Kerugian juga dialami para sopir angkutan umum Medan-Kabanjahe. Guntur Sembiring (50), sopir Sumatra Transport, mengatakan, jika jalan lancar, mereka bisa dua kali pergi-pulang Medan-Kabanjahe. ”Namun, itu sudah sangat jarang. Paling sering hanya bisa sekali pergi-pulang dan sekali pergi saja,” katanya.
Menurut Guntur, Jalan Medan-Berastagi semakin padat beberapa tahun terakhir. Sebelumnya Medan-Kabanjahe yang berjarak 70 kilometer ditempuh sekitar dua jam. ”Sekarang paling cepat tiga jam,” ujarnya.
Pada akhir pekan, waktu tempuh bisa 4-5 jam karena padatnya arus lalu lintas. Biaya bahan bakar bisa dua kali lipat. ”Sepanjang jalan kami berdoa agar tak ada mobil mogok, kecelakaan, dan longsor di jalan,” katanya.
Sementara itu, truk-truk besar yang mengangkut barang seberat 10 ton dari Medan ke Subulussalam, Aceh, seperti yang kemudikan Jerry (52), membutuhkan waktu tiga jam untuk melintas di ruas Medan-Berastagi saat normal. ”Itu karena kami kadang mengantre untuk melewati tikungan tajam,” katanya.
Panjang ruas jalan MedanBerastagi di Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Karo sekitar 55 kilometer. Namun, jalur menanjak dan berkelok dari dataran rendah di Medan yang berada di 30 meter di atas permukaan laut (mdpl) menuju 1.300 mdpl di Berastagi dengan lebar 6-7 meter.
Jalan ini merupakan jalur ekonomi bagi 4.481.521 warga Kabupaten Deli Serdang, Karo, Dairi, Samosir, Pakpak Bharat, Simalungun, Humbang Hasundutan di Sumatera Utara dan Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Aceh Selatan, dan Simeulue di Provinsi Aceh. Jalan ini juga sebagai jalur wisata ke Berastagi, terutama Danau Toba sisi utara.
Ketua Ikatan Cendekiawan Karo Sumatera Utara Budi D Sinulingga mengatakan, kemacetan selama enam jam sehari bisa berpotensi menimbulkan kerugian Rp 3 miliar-Rp 4 miliar.
Kondisi jalan yang kerap macet juga dikhawatirkan akan mengalihkan wisatawan yang memasuki Danau Toba dari utara ke selatan setelah akses Tol Medan-Parapat terbangun. Kondisi ini bisa menjadikan sisi utara tidak memiliki daya saing dan bakal menimbulkan disparitas pembangunan.
Banyak warga mengeluh terlambat menghadiri aktivitas sosial budaya di Karo, seperti upacara adat kematian dan perkawinan, akibat kemacetan. Saat puncak musim hujan, gangguan seperti longsor atau kecelakaan yang membuat kemacetan jalan bisa empat kali dalam satu minggu, baik yang merenggut nyawa, menimbulkan luka, maupun tanpa korban. Satu perusahaan agroindustri di Karo bahkan tutup karena jalan tidak bisa dilalui kontainer.
Usulan solusi
Menurut Guru Besar Fakultas Teknik Sipil USU Johannes Tarigan, berdasarkan data Balai Besar Jalan Nasional Wilayah I Medan, lalu lintas harian yang melintas jalan Medan-Karo pada 2014 mencapai 21.231 kendaraan per hari.
Saat ini diperkirakan sudah mencapai 25.000 per hari. Kemacetan yang terjadi saat ini menimbulkan kerugian Rp 2,3 miliar setiap kejadian atau Rp 248 miliar per tahun.
Dia mengusulkan adanya perbaikan jalan Medan-Berastagi di dua titik, yakni di Jalan PDAM, Sibolangit dan Jalan Bandarbaru. ”Jalan itu memang tidak layak untuk kendaraan besar karena tikungannya mencapai 360 derajat,” kata Johannes. Truk kerap terguling di jalur itu.
Pihaknya mendesain jembatan layang yang menghubungkan dua titik untuk memperpendek jalan dan lebih aman.
Tikungan di Sibolangit diperpendek dari 1,448 kilometer menjadi 384 meter atau diperpendek menjadi 693 meter, sedikit berputar dengan jembatan layang setinggi 34 meter untuk menghindari area hutan dan mata air.
Adapun di titik jalan Bandarbaru-Penatapan, panjang jalan 5.730 meter diperpendek jadi 2.921 meter dengan jembatan. Jalan melewati air terjun Sigulipat dengan investasi sekitar Rp 700 miliar.
Diusulkan dua alternatif sebagai solusi, yakni pembangunan Tol Medan-Berastagi yang dimulai dari Simpang Amplas, Medan. Alternatif pertama sepanjang 43 kilometer dengan biaya Rp 4,3 triliun dan alternatif kedua sepanjang 44 kilometer dengan biaya Rp 44 triliun.
”Kami berharap pada 2019 sudah ada DED dari Kementerian PUPR untuk peningkatan jalan eksisting saat ini. Untuk jalan tol perlu segera dibuat rincinya,” kata Johannes. Hanya dengan solusi yang ada ini, pederitaan warga bisa tereduksi. (WSI)