Membalik Nasib Pelayaran Rakyat
Armada pelayaran rakyat yang menjadi urat nadi transportasi di wilayah kepulauan Nusantara nasibnya masih muram. Akankah pada 2019 perbaikan nasib terwujud?
Sepanjang 2018, sejumlah kecelakaan fatal terjadi pada armada pelayaran rakyat. Tenggelamnya Kapal Motor Sinar Bangun di Danau Toba, Sumatera Utara, pada 18 Juni 2018 merupakan salah satu musibah paling memilukan.
Hingga operasi pencarian oleh tim SAR gabungan ditutup, 164 orang masih hilang, 3 tewas, dan 21 selamat. Kapal kayu itu diduga kelebihan muatan sehingga terbalik saat dihantam cuaca buruk. Kapasitas maksimal kapal itu hanya 45 penumpang.
Pascatragedi itu, sejumlah perbaikan dilakukan pada pelayaran di Danau Toba. Kapal-kapal dilengkapi fasilitas keselamatan serta dilakukan pembatasan jumlah penumpang dan barang. Aspek itu diawasi langsung oleh petugas dinas perhubungan setempat sejak sebelum pemberangkatan kapal.
Namun, di daerah lain, pelra masih berjalan seperti sebelumnya. Di kawasan timur Indonesia, daerah kepulauan yang bersandar pada pelra sebagai satu-satunya sarana konektivitas antarwilayah, kondisinya tampak tak banyak berubah.
Hingga Sabtu (8/12/2018), transportasi dari Kota Ambon menuju sejumlah pulau di sisi barat Pulau Seram, desa-desa di pesisir Pulau Buru, Provinsi Maluku, dan kampung-kampung di Pulau Obi, Provinsi Maluku Utara, didominasi kapal pelra. Kapal-kapal yang umumnya milik warga setempat itu terbuat dari kayu dengan ukuran tidak lebih dari 150 gros ton.
Kapal itu kebanyakan tidak dilengkapi alat keselamatan seperti jaket pelampung. Alat navigasi juga terbatas, setidaknya ada kompas. Nakhoda yang hampir semua tidak memiliki ijazah pelayaran itu lebih banyak mengandalkan insting. Padahal, rute yang dilewati sering dilanda gelombang tinggi yang berisiko.
”Kalau tenggelam itu nasib sial. Kalau meninggal di laut itu mungkin karena jalan takdir,” kata Aldo, anak buah kapal rute Ambon-Pulau Buru. Kondisi itu masih sama saat Kompas melakukan liputan khusus soal pelra pada April 2018. Hal serupa terjadi di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah.
Pelayaran Makassar-Pulau Barrang Lompo di Sulsel pernah mengalami catatan kelam pada 13 Juni 2018. Saat itu, KM Arista yang mengangkut 73 orang tenggelam. Sebanyak 17 penumpang tewas, 1 hilang, dan 55 selamat. Kapal nelayan yang difungsikan sebagai kapal penumpang itu diduga kelebihan muatan sehingga karam dihantam gelombang.
Di Sulteng, KM Fungka Permata V yang berlayar dari Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, menuju Banggai, terbakar di perairan Banggai Laut. Sebanyak 13 penumpang tewas, 7 di antaranya tak ditemukan. Kapal mengangkut 178 penumpang yang sebagian tak tercatat di manifes.
Semua kapal itu memegang peranan vital bagi warga. Kapal-kapal itu membawa barangbarang kebutuhan dari kota ke pulau. Sebaliknya, kapal juga mengangkut hasil bumi dan perikanan warga pulau untuk dijual di kota.
Kapal rute Ambon-Pulau Obi, misalnya, mengangkut bahan makanan dan bahan bangunan dari Ambon. Saat kembali dari Obi, kapal mengangkut kopra. Obi adalah daerah penghasil kopra di Maluku Utara.
”Kalau tak ada kapal ini, kami tak bisa jual kopra di Ambon. Kalau kami jual ke tengkulak di kampung, sangat murah,” kata Yan Hukubun, warga Obi.
Kapal rute Makassar-Pulau Barrang Lompo juga menjadi urat nadi bagi warga pulau kecil di Selat Makassar itu. Kapal itu membawa berbagai kebutuhan hidup bagi warga Barrang Lompo yang dibeli dari Makassar. Jika cuaca buruk dan kapal tak berlayar, warga akan kesulitan.
Masalah pelik
Berbagai masalah yang dihadapi pelra seolah saling membelit sehingga menjadi kusut. Sebagai contoh, kewajiban melengkapi kapal dengan berbagai fasilitas keselamatan bukan perkara mudah dipenuhi pemilik, yang biasanya perorangan, karena skala bisnis pelra yang kecil.
Jangankan untuk kebutuhan itu, untuk menutupi biaya operasional kapal saja terkadang pemilik masih megap-megap. Volume penumpang dan barang yang dilayani ke pulau-pulau kecil dan terpencil tentu terbatas. Di sisi lain, tarif tak bisa digenjot karena minimnya kemampuan ekonomi warga.
Hal inilah yang sering membuat kapal pelra nekat mengangkut sebanyak mungkin penumpang setiap ada kesempatan tanpa menghiraukan kapasitas maksimal demi menutup biaya saat angkutan sepi. Akses permodalan bagi pengusaha pelra juga masih sulit.
Semua hal itu menghambat pelra untuk meremajakan atau memperbaiki kapal agar sesuai standar kelaikan dan keselamatan. Belum lagi faktor ketersediaan kayu yang kian langka dan mahal untuk diperoleh.
Petugas terkait juga kerap menghadapi dilema besar atas kondisi ini. Menegakkan aturan dengan melarang berlayar kapal pelra yang tak memenuhi standar keselamatan dan kelaikan tentu akan mematikan sendi-sendi kehidupan warga pulau. Tidak dilarang, ancaman bahaya jelas mengintai.
Di sinilah kehadiran negara sangat dinantikan. Banyak hal yang bisa dilakukan, mulai dari menyubsidi biaya operasional pelra (BBM dan tarif), bantuan perlengkapan keselamatan, hingga peremajaan kapal.
Para nakhoda dan awak kapal yang hanya mengandalkan insting, pengalaman, dan pengetahuan tradisional juga perlu mendapat sentuhan pelatihan dan teknologi. Pemerintah juga bisa mendorong perbankan mempermudah akses modal bagi usaha pelra.
Betul memang, semua itu memerlukan upaya dan biaya yang tak sedikit mengingat jumlah kapal pelra yang mencapai ribuan dan tersebar di seantero negeri. Namun, upaya tersebut tetap harus ditempuh mengingat vitalnya sarana itu bagi rakyat di negara kepulauan ini.
Salah satu yang dinilai juga dapat membantu adalah integrasi pelra dengan program tol laut. Armada pelra dapat dipakai sebagai perpanjangan tol laut untuk menjangkau pulau-pulau kecil dan terpencil yang tak dapat disinggahi kapal besar. Dengan begitu, pelra akan memiliki sumber pemasukan baru untuk menghidupi dirinya.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi telah menegaskan komitmennya untuk memperhatikan nasib pelra, termasuk ide memperkuat tol laut dengan pelra, antara lain dengan memberikan pelatihan kepada 100.000 pelaut, khususnya terkait aspek peningkatan keselamatan.
Selain itu, ada pula bantuan kapal baru. Sebanyak 24 kapal diberikan pada tahun 2017 dan 100 kapal pada tahun 2018.
Semua pihak tentu berharap upaya ini akan terus dilanjutkan dan ditingkatkan, bukan hanya pada 2019, melainkan juga tahun-tahun berikutnya. Jangan lagi menambah asin laut dengan air mata.
(FRN/VDL/REN/ENG)