Di Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, ibu-ibu Muslim membantu memasak untuk Selamatan Sambut Baru, sebutan lain dari Sakramen Ekaristi bagi umat Katolik. Pada saat itu, persaudaraan mengepul dari dapur.
Begitu yang dikenang pelawak tunggal atau komika Abdurrahim Arsyad (30), yang tumbuh di Larantuka dan Kupang, NTT, selama belasan tahun. Salah satu dari ibu-ibu Muslim tersebut adalah ibundanya. Ibu Abdur yang tergabung dalam majelis taklim tak segan membantu.
”Biasanya ibu-ibu majelis taklim yang diminta pegang dapur buat acara-acara di kampung. Kalau yang di dapur bukan mereka, tamu yang datang mungkin ragu-ragu mau makan,” kata Abdur, begitu biasa Abdurrahim Arsyad disapa, Sabtu (15/12/2018).
Di Larantuka, kata lulusan Universitas Muhammadiyah Malang, ini semua orang adalah saudara. Tidak peduli agama satu sama lain. Semua siap turun tangan saat ada pesta di kampung.
Hidangan yang dimasak oleh para anggota majelis taklim menjadi simbol toleransi. Biasanya, ada dua meja prasmanan yang disediakan oleh tuan rumah. Satu meja khusus berisi hidangan halal. Meja lainnya berisi makanan non-halal.
Selain memasak hidangan halal, warga juga memperhatikan cara memotong ternak sesuai dengan ajaran Islam. Padahal, kebanyakan warga di sana memeluk agama Kristen dan Katolik. Para warga Muslim, baik tua maupun muda, dipanggil untuk membantu menyembelih ternak.
”Saya paling sering motong ayam. Soalnya gampang banget ketimbang motong kambing dan sapi,” kata runner-up SUCI 4 Kompas TV ini.
Abdur rupanya lihai menyembelih ayam. ”Cabut dulu bulunya di leher,” begitu dia menjelaskan langkah awal menyembelih ayam dengan benar.
Tumbuh di lingkungan yang mengutamakan persaudaraan membentuk Abdur berpikir secara luas. Lingkaran pertemanan yang menurut dia slow dan asyik juga mendorongnya untuk merangkul keberagaman. Daripada meributkan perbedaan, menurut dia, pertemanan lebih penting.
Komika yang kerap menggunakan frase ”Aduh Mama Sayange” dengan logat NTT ini menilai, banyak orang yang kini lupa caranya mengerem perkataan dalam pergaulan. Ia merasa orang-orang lebih suka berkomentar tanpa peduli perasaan kawannya. Banyak orang yang ia rasa mengabaikan kepekaan dalam merasa.
Biasanya Abdur akan menghindari topik yang rawan menimbulkan gesekan yang tak penting. Ia akan mulai dengan membicarakan hal-hal yang menjadi kesukaan ia dan lawan bicaranya. Dengan begitu, keduanya akan semakin akrab.
Ia bercerita, pembicaraan yang terasa akrab bisa berlangsung selama berjam-jam. Bercangkir-cangkir kopi bisa tandas untuk menemani obrolan santai itu. Dari keakraban itu, keduanya bisa memahami dan menoleransi perbedaan masing-masing. ”Pada akhirnya, perbedaan jadi tidak penting di antara kita,” katanya.
Suasana serupa terjadi di dapur tepat ibunya memasak untuk Selamatan Sambut Baru. Saat itu, terasa betul bahwa persaudaraan mengepul dari dapur. (E07)