Natal bukan hanya perayaan keagamaan, melainkan juga perayaan persaudaraan. Anggota keluarga yang berserak kembali berkumpul. Mereka bercengkerama, berbagi kebahagiaan, dan mempererat silaturahmi.
Ini yang kerap dialami aktor Tanta Ginting (38). Keluarga besarnya tidak seragam dalam beragama. Sebagian Kristen dan sebagian lagi Islam. Mereka selalu rukun.
Namun, toleransi ibarat seutas karet yang kadang kendur kadang kencang. Tanta merasa kadang ada keluarganya yang tidak seakrab atau sehangat dulu. Pada titik ini, dia memilih mengendurkan ego untuk memulai menghubungi dan menanyakan kabar. ”Tidak masalah siapa yang memulai komunikasi terlebih dahulu karena keluarga akan tetap menjadi keluarga meskipun ada sekat-sekat perbedaan,” kata pemain film Bid’ah Cinta ini di Jakarta, Rabu (19/12/2018).
Tanta Ginting lahir di Jakarta, tetapi orangtuanya kini tinggal di Amerika. Semenjak menikah dan menetap di Jakarta, praktis momen Natal dia lalui hanya bersama istri dan teman dekat. Teman-temannya berasal dari beragam agama, suku, maupun budaya. ”Teman dekat udah jadi saudara sendiri. Kita senang-senang bareng, tukar kado, makan bareng, dan tempatnya digilir setiap tahun,” ujar Tanta.
Perayaan Natal bersama teman dekatnya diisi dengan napak tilas masa setahun, bertukar pengalaman unik dan lucu serta mencanangkan resolusi untuk tahun yang akan datang. Baginya, hal sederhana seperti itu memupuk semangat persaudaraan dan persatuan di tengah perbedaan.
Tanta menceritakan, ia telah terbiasa tinggal di lingkungan yang majemuk. Tanta kecil pernah ikut kelas agama Islam waktu sekolah dasar di Palembang dan punya banyak teman Muslim. ”Bahkan, gue belajar bareng tentang agama Islam dan Al Quran. Wawasan gue terbuka, ternyata banyak perbedaan dan itu indah,” kata pemeran film Insya Allah Sah 2 ini.
Pria kelahiran Jakarta itu menyebutkan, bukan sesuatu yang baru ketika ditawari berperan menjadi ustaz seperti dalam film Bi’ah Cinta. Ia tidak takut mengambil peran itu meskipun seorang Kristiani. Tujuannya adalah berbagi kebaikan, semangat persaudaraan dalam perbedaan.
Ia mengatakan, berita-berita yang beredar menunjukkan meningkatnya intoleransi di Indonesia. Ia sangat menyayangkan hal itu. Bukan tanpa alasan, menurut dia, sejak dulu semua orang punya latar belakang yang berbeda, tetapi semua orang adalah sama, yaitu manusia. ”Gue tanamkan dalam mindset, kita adalah manusia. Gue enggak peduli latar belakang agama maupun budaya,” ujar Tanta.
Ia menyarankan kita banyak jalan-jalan untuk melihat hal baru agar dapat menerima perbedaan sehingga toleran. Juga untuk melihat sisi lain dunia. ”Kita tidak tinggal sendiri di dunia ini. Pikiran kita juga bukan satu-satunya yang terbaik di dunia ini. Carilah pengetahuan dan pemahaman baru,” ucap Tanta.
Penyuka pohon cemara itu mengibaratkan perilaku manusia saat ini layaknya sebuah gigi. Kita tidak menyadari bagian dalam gigi telah keropos karena bagian luarnya masih bagus. Manusia saat ini cenderung melihat perbedaan dari kulit luarnya tanpa ingin melihat dan mencari tahu bagian dalam dari perbedaan itu.
”Gue yakin kita tidak bisa memaksakan pikiran dan pendapat kepada orang lain. Tetapi berpikirlah menggunakan akal sehat, sebarkan kebaikan dan semangat persaudaraan,” kata Tanta yang memaknai Natal sebagai momen silaturahmi. (E17)