Mitigasi dan Penanggulangan Bencana Mulai dari Desa
Indonesia merupakan salah satu kawasan rawan bencana alam. Berdasarkan pengalaman, dampak terbesar dirasakan oleh masyarakat di ruang lingkup terkecil, yaitu desa/kelurahan atau komunitas lokal.
Karena itu, sudah saatnya kita memberi perhatian lebih pada penanganan bencana mulai dari desa atau kelurahan. Hal ini bisa menjadi upaya mengurangi risiko dampak bencana di Indonesia.
Sebagian besar desa di Indonesia memiliki akar sejarah mitigasi bencana. Desa Slumbung, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar, misalnya, pernah memiliki konsep lumbung bersama untuk menghadapi pagebluk (petaka, misalnya gagal panen).
Jika pagebluk datang, padi di lumbung bisa digunakan untuk menyambung hidup bersama. Lumbung bersama masih ada hingga tahun 1980-an. Namun, perlahan hal itu menghilang.
Hal lain, masyarakat desa di lereng gunung menengarai bahwa gunung akan meletus jika hewan-hewan mulai turun gunung. Namun, pemahaman mitigasi bencana tersebut lambat laun terkikis.
Saat ini, masyarakat desa mulai memikirkan cara mitigasi bencana lebih modern. Salah satunya bisa dilihat di Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang. Desa itu melakukan pemetaan desa, baik peta spasial maupun peta sosial, sebagai bagian dari sistem informasi desa (SID).
Peta desa yang dihasilkan oleh Desa Pandanlandung akan berbeda dengan peta desa kebanyakan. Sebab, data yang didapat dari sensus penduduk setiap rumah menggunakan indikator pertanyaan detail per rumah warga, seperti jumlah keluarga, jumlah pengeluaran keluarga per bulan, jumlah pemasukan, dan hal detail lainnya.
”Salah satunya adalah menanyakan di rumah tersebut biasanya rawan bencana apa. Hal itu bisa jadi indikator mitigasi bencana sejak dini,” kata Ahmad Bagus Sadewa, anggota tim pemetaan Desa Pandanlandung.
Aturan hukum
Mitigasi bencana di desa sebenarnya sudah didukung oleh beberapa aturan hukum terkait desa. Artinya, mitigasi bencana sudah menjadi perhatian para pihak terkait.
Sebut saja Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Pada Pasal 13 Ayat 1e disebutkan, salah satu klasifikasi belanja desa adalah untuk kepentingan belanja tak terduga.
Pada Pasal 17 Ayat 1-6 disebutkan, dalam keadaan darurat/kejadian luar biasa, pemerintah desa dapat melakukan belanja yang belum tersedia anggarannya.
Pada Pasal 17 Ayat 3 dijelaskan, salah satu keadaan darurat, misalnya bencana alam/sosial/kerusakan sarana dan prasarana. Pada Ayat 5 dinyatakan, keputusan darurat itu harus dilakukan oleh wali kota/bupati.
Meski sudah ada aturan hukum yang jelas, realisasi di lapangan masih minim. Pemerintah desa umumnya masih belum menganggap perlu menganggarkan secara khusus dana desa guna penanganan bencana.
”Yang ada dana tidak terduga, jumlahnya kecil karena biasanya itu anggaran sisa,” kata Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Pandanlandung Iman Suwongso.
Untuk Desa Pandanlandung, rata-rata nilai anggaran tak terduga tersebut sangat kecil, sekitar Rp 5 juta. Padahal, nilai APBDesa Pandanlandung sekitar Rp 1,4 miliar.
Dalam kasus bencana gempa bumi di Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Barat, pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Keuangan membuat aturan hukum untuk mendorong penggunaan transfer ke daerah dan dana desa tahun 2018 dan tahun 2019 untuk mendukung percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana gempa bumi.
Lahirlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.07/2018 Aturan itu menyebutkan, transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) tahun 2018 dan tahun 2019 untuk 15 daerah diprioritaskan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana gempa bumi.
TKDD terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana alokasi khusus (DAK) fisik, DAK nonfisik, dana insentif daerah (DID), dan dana desa. Pertanyaannya, akankah kita menunggu hingga bencana datang, kemudian baru mencari solusi, dalam hal ini menganggarkan belakangan?
Desa tangguh
Di satu sisi, pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memiliki Program Desa Tangguh Bencana (destana). Kebijakan itu merujuk pada Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana.
Destana adalah desa dengan masyarakat siap menghadapi bencana. Masyarakat yang sudah terlatih mendeteksi kerawanan, membuat titik aman dan jalur evakuasi hingga mampu memetakan kelompok rentan dan upaya penyelamatan saat terjadi bencana, serta kemampuan lainnya. Di Kabupaten Malang, saat ini ada 34 destana dari total 378 desa.
Pembentukan destana selama ini, menurut Kepala Pelaksana Ketua Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Malang Bambang Istiawan, menjadi tanggung jawab ABPD Kabupaten Malang, BNPB, atau lembaga donor seperti USAID.
”Hingga kini, belum ada alokasi dana desa untuk mendukung destana. Jika hal itu bisa dilakukan, akan semakin banyak dan semakin cepat desa-desa menjadi destana,” katanya.
Dari gambaran tersebut terlihat bahwa desa memiliki instrumen pembiayaan untuk menangani bencana. Hanya saja, masyarakat belum paham, belum sadar, bahkan belum tahu manfaatnya sehingga alokasi dana untuk mitigasi dan penanggulangan bencana tidak besar.
Pemerintah melalui BNPB memiliki instrumen mitigasi bencana, seperti sistem, instruktur/pelatih, dan teknologi. Hanya saja, mereka tidak memiliki anggaran yang cukup untuk menjangkau seluruh pelosok Tanah Air. Jika kebijakan kedua pihak itu bisa disinkronkan, bisa jadi model penanganan bencana di Tanah Air tidak lagi terkendala. (Dahlia Irawati)