Lebih dari 10 perempuan berjalan memegang kain putih panjang sambil mengurung langkah rombongan sejumlah tokoh, di antaranya pendeta dan ustaz. Bunyi tifa yang dipukul beberapa pria berkalung salib berpadu dengan tepukan rebana oleh sekumpulan remaja berkopiah putih. Suara tifa dan rebana ini mengiringi langkah mereka menuju pelataran gedung Gereja Kristen Protestan Maluku di Desa Amahusu, Kota Ambon, Maluku, Minggu (2/12/2018).
Sambil melangkah, mereka menyanyikan lagu berjudul ”Gandong”. Lagu yang mengisahkan hubungan persaudaraan itu menjadi semacam pengikat rasa orang Maluku, yang hampir semua kampungnya terikat dalam hubungan pela dan gandong, atau hubungan kekerabatan dalam sebutan lain. Pada kesempatan itu, umat Islam dari Desa Laha, Kota Ambon, dan Desa Tial, Kabupaten Maluku Tengah, datang ke Amahusu, kampung yang penduduknya adalah Kristiani.
Pela berarti hubungan saling angkat saudara, yang tercipta dari peristiwa di masa lalu, yakni saat satu kampung membantu kampung lain yang menderita kesulitan, seperti mengalami bencana kelaparan. Kedua kampung lantas mengangkat sumpah sebagai sesama saudara.
Adapun hubungan gandong tercipta secara alami. Kampung-kampung terjalin gandong manakala pendiri (moyang) kampung berasal dari satu rahim. Gandong secara harfiah berarti ’kandung’.
Dengan menyanyikan ”Gandong”, mereka menyatakan semua bersaudara meski berbeda suku dan agama. Mereka juga merasa dekat meski jarak di antara kampung terpaut beratus-ratus kilometer, terpisah laut, atau terhalang gunung.
Di dalam lingkaran kain putih yang disebut kain gandong itu, mereka larut dalam harmoni. Mereka melebur dalam cinta karena satu rasa, satu gandong.
Haru
Irama tifa dan rebana yang syahdu serta lirik lagu ”Gandong” yang menusuk kalbu itu membuat haru. Beberapa dari mereka, baik anggota rombongan maupun perempuan pemegang kain yang sebagian mengenakan hijab, tak kuasa menahan emosi. Tangis pecah saat mereka disambut para perempuan di depan gerbang gedung gereja.
Dua perempuan anggota majelis jemaat yang sedang melantunkan lagu selamat datang tiba-tiba keluar dari barisan. Dengan setengah berlari, keduanya mendaratkan pelukan ke dua pria berkopiah, Halib Kaliki, Sekretaris Negeri Laha, dan Lukman Yongken, tokoh yang dituakan.
Halib berusaha tegar, sementara Lukman yang berdiri dengan bantuan tongkat menangis tersedu-sedu. Mereka balas merangkul dua perempuan itu. Masyarakat yang menyaksikan acara ini ikut larut dalam haru.
Pelukan itu semacam ungkapan rindu adik terhadap kakak. Berdasarkan penuturan sejarah, Laha adalah gandong tertua, sedangkan Amahusu adalah adik. ”Kami dari Laha yang kakak laki-laki, sementara Amahusu ini adik perempuan kami. Kakak dan adik tetap baku sayang (saling menyayangi) biar beda agama. Agama boleh berbeda, tetapi katong (kami) tetap satu gandong,” tutur Djafar Henaulu, Imam Masjid dari Desa Laha.
Perjumpaan sesama pela atau sesama gandong di Maluku selalu membawa haru. Hal itu juga terjadi dalam peresmian gedung Gereja Kristen Protestan Maluku di Desa Kariu, Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Juli 2017. Saat itu, umat Islam dari Desa Hualoy, Kabupaten Seram Bagian Barat, ikut hadir.
Suasana haru muncul bisa karena lama tak jumpa. Haru juga dapat muncul karena mengenang Maluku saat dilanda konflik pada 1999-2003.
Umar Hehuwat (76) dari Laha menyadari dampak buruk dari upaya memecah belah masyarakat. Warga yang kurang pengetahuan dan informasi bisa terjebak dalam permainan adu domba. Namun, seiring berjalannya waktu, masyarakat di Maluku semakin dewasa.
Mereka perlahan membangun imunitas atau daya tahan sosial, yang dulu rentan dibakar emosi. ”Katong su tau, katong su paham (kami sudah mengetahui, kami sudah memahami),” kata Umar.
Kehadiran umat Islam ke Amahusu bertujuan memperteguh kekerabatan. Mereka datang sekaligus untuk menyampaikan ucapan kepada saudara mereka yang tengah memasuki masa adven atau masa penantian jelang kelahiran Yesus Kristus.
Kunjungan ini terus berbalas. John Hursepuny, anggota Majelis Jemaat Gereja Kristen Protestan Maluku Jemaat Imanuel Amahusu, menuturkan, saat Idul Fitri dan Idul Adha, masyarakat dari kampung itu datang ke Laha dan Tial untuk menyampaikan ucapan selamat hari raya.
Menurut John, lewat perjumpaan itu, hubungan kekerabatan semakin kuat. Alhasil, daya tahan masyarakat saat menghadapi upaya adu domba akan semakin baik